
Namun juga akan menyesatkan jika melihat kekuatan Vietnam tidak tumbuh. Mereka telah lama mengakui keterbatasan dari strategi sea denial dan telah berusaha untuk meningkatkan strategi mereka untuk melawan agresi militer China di Laut China Selatan.
Angkatan Laut Hanoi baru saja menerima kapal selam diesel listrik Kelas Kilo buatan Rusia terakhir, dan pada titik puncak dari operasionalisasi skuadron kapal selam lengkap pada 2017, citra strategi angkatan laut Vietnam yang mengandalkan sea denial masih terlihat.
Meskipun benar bahwa sebuah kapal selam, terutama yang bertenaga konvensional, umumnya terkait dengan penolakan akses laut, untuk kasus Vietnam atribut ini bisa lebih. Enam kapal selam yang mereka miliki tidak hanya dilengkapi untuk senjata untuk sea denial seperti torpedo tradisional dan ranjau, tetapi juga dilengkapi dengan sea-launched land-attack cruise missiles (SLCM) Klub-S buatan Rusia yang dapat mencapai target sejauh 300 kilometer.
Pengamat militer Vietnam Carlyle Thayer telah berpendapat bahwa SLCM Vietnam akan digunakan untuk menyerang pelabuhan dan lapangan udara China, seperti pangkalan angkatan laut Sanya di pulau Hainan, bukan kota yang ada di sepanjang pantai daratan Cina selatan.
Peran penangkis masih akan sesuai dengan baik dalam strategi pertahanan Hanoi, tetapi mereka juga memperoleh kemampuan ofensif untuk menyerang lawan. Tidak ada cara bagi Vietnam untuk untuk mencegah agresi China kecuali mereka memiliki sarana untuk menyerang dan membuat kerusakan fasilitas China termasuk di Sanya yang menjadi salah satu garis depan.
Contoh jelas adalah bagaimana kapal Rusia ketika melakukan kampanye di Suriah pada akhir 2015 yang menunjukkan bahwa angkatan laut yang kecil bisa menyerang secara mengejutkan. Kapal selam Kelas Kilo Rostov-on-Don menjadi kapal selam konvensional pertama yang meluncurkan SLCM untuk serangan penetrasi ke wilayah yang jauh.
Namun, Rusia bisa melakukan ini karena mereka memiliki kemampuan command, control, communications, computers, intelligence, surveillance and reconnaissance (C4ISR) yang cukup baik. Rusia memiliki satelit navigasi GLONASS yang memungkinkan rudal terbang mulus di atas petak daratan yang luas Timur Tengah.
Vietnam masih dalam tahap awal di program C4ISR, dengan fokus pada kendaraan udara tak berawak dan penginderaan jarak jauh mikrosatelit. Saat ini kemampuan penargetan berbasis satelit masih mengandalkan data yang diperoleh dari citra jauh satelit komersial.
Meskipun demikian, kekurangan ini tidak akan menghambat kemampuan serangan Vietnam terhadap sasaran pesisir seperti pangkalan angkatan laut Sanya yang tidak memerlukan kemampuan C4ISR terlalu tinggi seperti ketika harus menyerang target darat yang ada jauh di wilayah pedalaman.
Dan dengan mengakuisi kapal selam, Hanoi ingin meningkatkan kemampuan untuk melawan Beijing dan menaikkan risiko bagi China jika melakukan agresi. Selain itu Vietnam juga terus melengkapi kekuatan di sektor lain.
Pada intinya Vietnam telah membuat langkah lebih lanjut untuk memberlakukan strategi kontra-intervensi yang lebih kuat dibandingkan strategi konvensional mereka selama ini yang memilih strategi bertahan dan menunggu.
Marinir mereka telah dilatih untuk merebut pulau yang tentu saja yang dibayangkan adalah Pulau Spratly yang telah mengakibatkan pertempuran 1988. Pada bulan Mei 2016, Vietnam dilaporkan bernegosiasi dengan Rusia membeli frigat dipandu rudal Kelas Gepard ketiga. Apa yang istimewa tentang pembelian ini adalah bahwa Hanoi ingin kapal baru ini dipersenjatai dengan SLCM Klub.
Kita ingat bahwa korvet Armada Laut Kaspia Rusia yang memiliki ukuran sama dengan Kelas Gepard 3.9 bersama dengan kapal selam Rostov-on-Don telah membuktikan bahwa kapal perang kecil mampu melancarkan serangan SLCM. Hanoi rupanya terinspirasi dengan keberhasilan Rusia ini.
Vietnam akhirnya secara bertahap bergeser dari strategi sea denial menjadi strategi ofensif untuk menaikkan taruhan China jika melakukan agresi. Selesainya skuadron kapal selam pada tahun 2017 hanya langkah besar pertama menuju arah ini.