Marsekal Leo Davies, Kepala Angkatan Udara Australia (RAAF) mengaku saat ini dia memimpin salah satu Angkatan Udara paling modern dan paling mampu di kawaaan Asia-Pasifik.
“Peran angkatan udara kami semakin meningkat,” kata Davies kepada Flightglobal Jumat 17 Februari 2017. “Kami sekarang adalah angkatan udara yang canggih dan semakin lebih canggih. Kita memiliki pilihan untuk serangan darat, kontrol udara, dan pertempuran maritime. Kami memiliki banyak pilihan. Ini kunci yang kita punya. ”
Salah satu bidang utama di mana RAAF baru-baru masuki adalah kemampuan perang elektronik atau electronic warfare (EW ). Kemampuan yang akan dipamerkan kepada public di Australia Air Show yang akan digelar di Avalon.
Pada acara itu, Australia akan menyambut kedatangan pesawat Boeing EA-18G Glower baru. Angkatan Udara Australia kini telah mendapatkan 12 pesawat yang dibeli dari Amerika dan telah bekerja sama dengan Angkatan Laut AS di Whidbey Island, Washington, untuk melatih personil dan mengembangkan kemampuan pesawat ini.

Misi EW adalah salah satu andalan kekuatan udara AS. Kesediaan Washington untuk berbagi kemampuan ini dengan Canberra membuktikan hubungan dekat antara kedua negara. Davies mengatakan RAAF Growler baru-baru ini telah terbang sortie pelatihan dengan seluruh personelnya dari Australia.
“Semua Growler siap untuk datang [ke Australia],” katanya. Dia mengatakan Angkatan Udara Australia menganggap Growler sebagai aset “kinetik”.
Davies menekankan sifat bersama dari platform Growler. Dia memperkirakan bahwa 75% dari misi pesawat ini tidak akan beroperasi bersama RAAF F / A-18A / B Hornet dan F / A-18F Super Hornets. Sebaliknya, itu akan menghabiskan sebagian besar untuk dukungan darat dan kekuatan maritim. “Ini benar-benar sebuah platform bersama,” katanya.

Akuisisi lain yang dilakukan Australia adalah jet tempur generasi kelima F-35A Lightning II. Sejauh ini, angkatan udara telah menerima dua pesawat yang bergabung di pusat pelatihan bersama F-35 I Luke AFB, Arizona. Canberra secara keseluruhan akan membeli 72 pesawat, dan bahkan bisa bertambah menjadi 100 pesawat dalam jangka panjang.
Meski sejumlah kritik masih menghujani program F-35, Davies tetap percaya dengan kemampuan pesawat siluman ini. “Sekarang sudah ada lebih dari 200 pesawat disampaikan, yang beroperasi di 12 lokasi, dengan lebih dari 75.000 jam terbang,” katanya. “Lebih dari 380 pilot dan 3.700 pengelola telah dilatih atau berada di bawah pelatihan. Hal ini tidak akan terjadi jika program tersebut bermasalah. ”

F-35A pertama Australia akan secara resmi dibawa pulang pada 2018. Namun dalam pameran dirgantara nanti mereka akan datang untuk unjuk kemampuan.
Angkatan Udara Australia saat in mengoperasikan 71 F / A-18A / B Hornet yang nantinya akan digantikan oleh F-35. Hornet akan tetap menjadi pekerja keras sampai seluruh penggantinya datang. Davies mengatakan rata-rata tingkat aktivitas setiap pesawat telah meningkat 1,000 jam setiap tahun sebagai akibat dari detasemen tempur ke Timur Tengah.
Hornet telah menjadi kekuatan utama Australia mendukung koalisi anti-ISIS di Irak dan Suriah dengan terbang lebih dari 1.500 sorti, melepaskan 1.250 senjata. Sementara F / A-18F Super Hornet yang juga dikirim melakukan 418 sorti dan menjatuhkan 278 amunisi hingga Januari. “Ini adalah jumlah yang cukup besar untuk kekuatan kecil,” kata Davies.
Selain mengirimkan Hornet dan Super Hornet Angkatan Udara Australia juga mengirimkan pesawat tanker transportasi A330 / KC-30A dan sebuah pesawat peringatan dini dan kontrol udara (AEW &C) Boeing E-7 Wedgetail kontrol (AEW & C) ke misi tersebut.
Davies mengatakan KC-30A telah sangat efektif selama kampanye dengan memberikan hampir 70,000,000lb bahan bakar, dan E-7 yang berbasis pada Boeing 737 juga tampil sangat baik dalam peran AEW & C.