Site icon

Tinggal Selangkah Lagi, Mimpi Keluarga Fuad Shareh Hancur Lebur oleh Trump

Fuad Sharef dan keluarganya menunggu dua tahun untuk mendapatkan visa  menetap di Amerika Serikat. Mereka telah  menjual rumah mereka,  berhenti dari pekerjaan, anak-anaknya keluar dari sekolah  sebelum berangkat  pada hari Sabtu 28 Januari 2017 untuk kehidupan baru mereka yang dilihat sebagai  sebagai hadiah untuk bekerja dengan organisasi-organisasi AS.

Tapi Sharef, istri dan tiga anak  dicegah naik penerbangan yang menghubungkan ke New York dari bandara Kairo pada hari Sabtu. Mereka adalah korban larangan tiba-tiba perjalanan baru yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump pada tujuh negara mayoritas Muslim.

Paspor mereka disita, keluarga bingung ditahan semalam di bandara Kairo dan dipaksa untuk naik ke pesawat kembali ke kota Erbil Irak utara pada hari Minggu pagi.

“Kami diperlakukan seperti pengedar narkoba, dikawal oleh petugas deportasi,” kata Sharef kepada Reuters melalui telepon dari bandara Kairo.

“Saya merasa sangat berdosa pada  istri dan anak-anak. Aku merasa  aku alasan di balik kecemasan mereka.”

Setelah dilantik 20 Januari 2017, Trump telah menggunakan kekuasaanya untuk menjalankan cita-citanya yang dikatakan selama kampanye. Trump menandatangani sebuah perintah pada Jumat untuk menangguhkan masuknya orang-orang dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman selama setidaknya 90 hari. Dia mengatakan ini akan membantu melindungi Amerika Serikat dari kelompok teroris.

Aturan itu  segera mendatangkan malapetaka dan kebingungan bagi calon wisatawan dengan paspor dari tujuh negara. Sharef dan keluarganya menjadi korban pertama.

Sharef mengatakan ia dipekerjakan oleh perusahaan farmasi sebelum meninggalkan Irak, tetapi telah bekerja pada proyek-proyek yang didanai oleh organisasi AS seperti USAID di tahun-tahun setelah invasi 2003 pimpinan AS dan pendudukan Irak.

Keluarga mencari  visa AS pada bulan September 2014 saat kondisi keamanan di Irak memburuk, dengan munculnya ISIS yang merebut sejumlah bagian negara dan melakukan pembunuhan brutal.

Kerja Sharef dengan Amerika Serikat membuatnya sangat rentan terhadap serangan militan karena akan dilihat sebagai pengkhianat.

“Aku memutuskan untuk imigrasi karena beberapa alasan. Pertama, saya bekerja dengan orang Amerika, yang menempatkan saya pada risiko ancaman dari organisasi teroris. Kedua, saya tertarik program ini (SIV) dan anak-anak saya berminat untuk melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat ,” katanya lagi.

Next: Setelah Mempertaruhkan Hidup

Sharef mengajukan permintaan  untuk berhijrah melalui program yang dikenal sebagai Special Immigrant Visa (SIV), yang diciptakan oleh anggota parlemen AS untuk membantu puluhan ribu warga Irak yang mempertaruhkan hidup mereka untuk membantu orang Amerika setelah invasi 2003.

Angka Departemen Luar Negeri Amerika menunjukkan setidaknya 7.000 warga Irak, banyak dari mereka interpreter untuk militer AS, telah menetap di Amerika Serikat di bawah naungan SIV sejak 2008, sementara sekitar 500 lainnya sedang diproses.

Sementara menurut International Refugee Assistance Project ada 58.000 warga Irak telah menunggu wawancara di bawah Direct Access Program bagi rakyat Irak yang berafiliasi dengan AS.

Teman Sharef, Mona Fetouh, mengatakan ia bekerja dengan dia pada pemerintahan lokal yang didanai oleh USAID dan proyek masyarakat sipil pada tahun 2004. Fetouh, warga AS, kata dia memberi Sharef rekomendasi untuk aplikasi SIV.

Awalnya dia akan terbang pada 1 Februari, keluarga memutuskan untuk melakukan perjalanan sebelumnya setelah adda berita bocor tentang rencana Trump untuk mengeluarkan pembatasan imigrasi baru. Tapi mereka terlambat.

“Proses SIV butuh waktu dua tahun dan mereka akhirnya diberikan visa mereka dan  terbang minggu ini Waktu  yang buruk,” kata Fetouh kepada Reuters.

“Mereka menjual rumah dan harta benda mereka dan berhenti dari pekerjaan dan sekolah mereka dalam persiapan untuk langkah ini dan benar-benar telah hancur oleh [larangan] ini.”

Sharef, ayah dua anak perempuan dan anak laki-laki, mengatakan keluarga itu masih shock dan tidak tahu langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Mereka akan tinggal sementara dengan saudara Sharef di Erbil.

“Saya tidak tahu. Mungkin aku akan mengirim email ke kedutaan Amerika di Baghdad meminta penjelasan,” katanya.

Ketika ditanya apakah dia takut  kembali ke Irak, dia mnjawab  merujuk pada kondisi di Mosul di mana ISIS mulai terdesak dia megatakan. “Mungkin sekarang kurang berbahaya setelah berkurangnya kekuatan ISIS  di Mosul, tetapi selama bertahun-tahun saya bekerja, hidup saya dan kehidupan keluarga saya  terus-menerus dalam bahaya dan aku sekarang berisiko berada di ancaman setiap saat. Tidak ada jaminan. “

Exit mobile version