Sembilan tahu lalu, koalisi yang didukung Amerika Serikat menghancurkan Libya dan pemimpin kuat Muamamd Gaddafi tewas ditembak pemberontak.
Setelah itu Libya telah menjadi negara kacau balau dengan berbagai konflik. Waktu memang membuktikan Libya dengan banyak kelompok membutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat.
Libya telah menjadi negara gagal yang secara de facto sudah tidak layak lagi disebut negara. Situasi kacau dan ISIS dan kelompok senjata lain memanfaatkannya untuk membangun kekuatan di negara ini
Dalam setengah dekade terakhir setelah jatuhnya Gaddafi, Amerika Serikat secara diam-diam masih terus mengirimkan kekuatan udara mereka untuk memburu target bernilai tinggi seperti tokoh yang dimasukkan Washington dalam daftar teroris.
Namun pengiriman kekuatan dilakukan secara minimalis terutama menggunakan F-15E yang secara sporadis melakukan misi jangka panjang dari Inggris. Selain itu juga kehadiran konstan drone Predator dan Reaper di langit Libya.
Musim panas lalu kebijakan ini berubah, dan helikopter Cobra dan jet Harrier milik Marinir Amfibi Group mulai menggempur militan ISIS yang membanjiri kampong dan kota pesisir, Sirte. Misi ini ditutup awal musim dingin lalu, ketika elemen ISIS akhirnya dipukul mundur dari kota.
Hingga sebuah langkah mengejutkan diambil Pentagon dengan mengirimkan bomber siluman B-2 Spirit untuk melakukan serangan ke Libya. Siluman hitam ini memporak-porandakan dua kamp besar ISIS di selatan Sirte. Langkah Amerika yang pasti sangat mahal ini memunculkan pertanyaan, kenapa untuk menyerang negara yang sudah berantakan seperti Libya Amerika harus mengirimkan pesawat paling canggih dan paling mahal yang ada di arsenal mereka?