Pada hari pertama Perang Teluk Persia, empat F / A-18C lepas landas dari USS Saratoga untuk membom sebuah lapangan udara di barat daya Irak. Masing-masing pesawat membawa empat bom MK 84 2000-lb, dua AIM-7 Sparrow, dua AIM-9L Sidewinder, dan tanki eksternal di centerline.
Saat Hornets dari VFA-81 (“Sunliners”) terbang menuju target, pesawat control udara E-2 Hawkeye mengabarkan bahwa ada dua MiG-21 Irak sedang memburu mereka.
MiG mengejar untuk mencegat Hornets dengan kecepatan 1,2 Mach. Sementara dua Hornet mencoba melawannya, Letnan Komandan Angkatan Laut Mark I. Fox dan pesawat wingman dengan pilot Letnan Nick Mongilio, siap bertarung.
Fox mengunci salah satu pesawat, menembak kedua Sparrow dan Sidewinder, sementara Mongilio meluncurkan single Sidewinder. Dalam sekejap, kedua pesawat Irak hancur dan itu hanya 40 detik sejak E-2 memberi peringatan.
Kedua MiG Irak adalah satu-satunya kemenangan udara untuk F / A-18 Hornet / Super Hornet selama beberapa dekade layanan. Tidak mengherankan, karena lawan dalam konflik Amerika sejak pesawat ini ada memang kurang menantang dalam hal kemampuan udar. Meski begitu kesuksesan in menunjukkan keberhasilan untuk apa F / A-18 dibangun.
Hornet tidak selalu pilihan pertama Angkatan Laut. Tapi mereka selalu menjadi pilihan selama beberapa dekade.