Pemerintah kota Jerusalem berencana mengambil langkah untuk mendorong pembangunan permukiman baru meski ada Resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang hal tersebut. Hal ini menuai kritikan dari Amerika Serikat yang menyebut aktivitas permukiman tersebut menempatkan upaya perdamaian di Timur Tengah dalam risiko.
Langkah tersebut dilakukan Rabu 28 Desember 2016 atas permintaan untuk membangun ratusan rumah baru bagi warga Israel di wilayah yang direbut Israel pada 1967 dan dianeksasi ke dalam kota, Israel masih menyayangkan resolusi yang disahkan Jumat lalu oleh Dewan Keamanan PBB yang meminta penghentian aktivitas permukiman di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Mark Toner mengatakan, dirinya mengetahui laporan pers tentang rencana pembangunan lebih banyak permukiman tersebut.
“Kami berharap resolusi Dewan Keamanan PBB berfungsi sebagai peringatan, sebuah seruan untuk bertindak, dan upaya untuk memperingatkan kedua belah pihak, tetapi khususnya Israel, bahwa tindakan tentang aktivitas pemukiman ini adalah sebuah ganguan menuju solusi dua negara,” demikian Toner dalam sebuah pengarahan berita.
Israel menyebut keputusan oleh Amerika Serikat untuk abstain dalam voting, dan tidak menggunakan hak veto “memalukan”. Pemerintahan Obama adalah penentang kuat permukiman tersebut.
Menteri Dalam Negeri Amerika, John Kerry, berencana memberikan keterangan tentang perdamaian Timur Tengah dan mendiskusikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Sebuah agenda yang diterbitkan oleh “City Hall Jerusalem” berisi daftar aplikasi sedikitnya 390 rumah baru yang persetujuannya terlihat pasti untuk meningkatkan oposisi Palestina dan dunia internasional terhadap pembangunan pemukiman Israel.
Panel Perencanaan dan Konstruksi Pemerintah Kota biasanya bertemu pada Rabu; permohonan izin diajukan sebelum resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pemimpin permukiman dan pendukungnya telah mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk meningkatkan konstruksi di Jerusalem Timur, menudingnya memperlambat langkah pembangunan tahun lalu karena desakan internasional.
Surat kabar Israel, Haaretz melaporkan pada Selasa, sebanyak 1.506 unit rumah bagi warga Israel telah diberi izin di Jerusalem Timur tahun ini, dibandingkan dengan 395 unit pada 2015.
Pemerintah kota Jerusalem mengatakan dalam pernyataan pada Selasa, akan terus mengembangkan ibu kota sesuai dengan kode etik zonasi dan pembangunan, tanpa prasangka, untuk kebaikan seluruh penduduk.
Israel menganggap seluruh Jerusalem ibu kota persatuannya, sebuah pendirian yang tidak didukung oleh komunitas internasional.
Rakyat Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara yang ingin mereka dirikan di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.
Sekitar 570.000 warga Israel tinggal di Jerusalem Timur dan Tepi Barat, permukiman yang dianggap ilegal oleh banyak negara dan diistilahkan oleh Amerika Serikat sebagai tidak sah. Israel membantah hal tersebut dengan mengutip keterkaitan sejarah, politis, dan kitab suci dengan wilayah tersebut, serta alasan keamanan.
Resolusi baru PBB tidak mengubah kenyataan di lapangan antara rakyat Israel dan Palestina, dan kemungkinan besar akan diabaikan oleh pemerintahan Presiden terpilih Amerika Donald Trump yang akan datang.
Seorang pejabat Amerika mengatakan setelah voting hari Jum’at, bahwa keputusan Washington abstain disebabkan utamanya oleh kekhawatiran Israel akan meneruskan percepatan pembangunan permukiman dan menempatkan solusi dua negara dalam risiko konflik dengan rakyat Palestina. Perundingan damai yang diprakarsai Amerika telah tertunda sejak 2014.
