Site icon

Habiskan Rp167,5 M Per Hari, Kenapa Tetap Sulit Kalahkan ISIS?

Pada tanggal 29 November, pasukan Irak sedang berjuang untuk bergerak maju untuk merebut kota Mosul yang masih dikuasai ISIS. Sudah lima minggu setelah operasi diluncurkan, pasukan Irak masih menghadapi perlawanan keras dari kelompok militant tersebut.

Pasukan Irak memiliki banyak bantuan yang ada di atas mereka. Sebanyak 43 pesawat Amerika dan sekutu termasuk pembom B-52, Harrier Marinir, F-15 Eagle hingga F-22 Raptor, siap untuk menyerang sasaran militant.

Selain jet, lebih dari selusin pesawat pengintai, termasuk drone Reaper dan Predator, diam-diam mengumpulkan citra dari peristiwa di bawah mereka, sementara helicopter serangan Apache terbang sorti  mendukung pasukan darat dan pesawat jammer berusaha untuk memblokir komunikasi militan.

Hasilnya,lebih dari 80 amunisi presisi dipecat, menghancurkan empat bom mobil, empat sistem mortir dan situs ISIS, bersama dengan target militan lainnya.

Apa yang terjadi di atas Mosul hari itu menggambarkan bagaimana  operasi udara Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya  dilakukan untuk merebut benteng terakhir ISIS.

“Mereka [pasukan Irak] berusaha mencapai tujuannya dan kami melindungi mereka,” kata Angkatan Udara Brig. Jenderal Matthew Isler, yang mengawasi operasi koalisi udara dan cyber untuk Irak sebagaimana dikutip Washington Post Kamis 21 Desember 2016.

Pejabat Amerika itu juga mengatakan misi itu juga  hari yang penting karena pasukan darat yang didukung AS tidak ada korban.  Sejak awal operasi pada 17 Oktober, militer Irak, terutama kekuatan kontra-terorisme yang dibangun Amerika Serikat telah mengalami kerugian besar karena sering menjadi korban bom bunuh diri dan penembak jitu ISIS. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang kemampuan Irak untuk mempertahankan perang berkepanjangan.

Next: Rp167,5 M Per Hari dan Belum Mampu Menggoyahkan ISIS

Pesawat mata-mata E-3 Amerika saat misi Resolve Inherent / USAF

Operasi udara merupakan aspek penting dari kampanye militer yang telah menelan biaya US$12,5 juta atau sekitar Rp167,5 miliar (dengan kurs Rp13.400)  per hari di Irak dan Suriah dan  menghancurkan kendaraan militer yang tak terhitung jumlahnya, pusat komando dan posisi pertempuran.

Sejak serangan dimulai pada musim panas  2014, pesawat AS dan sekutu telah melakukan lebih dari 16.000 serangan di kedua negara. Para pejabat militer AS memperkirakan bahwa 50.000 anggota ISIS telah tewaas.

Tetapi  operasi udara besar-besaran belum mampu memadamkan kekuatan ISIS  di dalam dan sekitar Mosul dan kubu-kubu militan lainnya. Saat pasukan Irak mencoba menekan lebih dalam ke kota, pejuang telah menimbulkan korban berat pada pasukan Irak, memperlambat kemajuan pertempuran dan merusak moral pasukan.

Dalam beberapa bulan terakhir, para pejabat AS dan sekutu telah berusaha untuk mempercepat operasi udara dalam kampanye melawan ISIS, dalam upaya untuk membuat kemajuan yang lebih besar terhadap kelompok itu, tapi pergerakan tetap lambat.

Dave Deptula, seorang pensiunan pejabat senior Angkatan Udara  yang kini menjadi Dekan Mitchell Institute untuk Studi Aerospace mengatakan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya telah terbang rata-rata 20 sorti serangan per hari di Irak dan Suriah sejak 2014.

Jumlah ini  jauh lebih sedikit daripada periode awal Perang Irak 2003, dengan hampir 800 sorti serangan per hari; atau operasi udara Kosovo 1999-2000, dengan hampir 300 sorti per hari. Apalagi dibandingkan dengan Operasi Desert Storm 1991  dengan lebih dari 1.200 sorti per hari.

Deptula mengatakan  sifat dari misi melawan ISIS,  terutama pertempuran untuk Mosul, membutuhkan berbagai jenis operasi udara. “Desert Storm adalah operasi di seluruh negara,” kata Deptula. “Mosul adalah bagian yang sangat kecil dari itu.  Setiap konflik memiliki situasi yang berbeda. ”

Next: Operasi Udara Sangat Rumit

A-10 Warthog mengisi bahan bakar di udara saat misi Resolve Inherent

Kampanye udara Mosul  dilakukan di atas kota padat  penghuninya dan  sebagian besar tinggal di rumah mereka, membuat beberapa serangan akan sangat berisiko memunculkan korban sipil. Hal ini sekaligus meningkatkan  kebutuhan untuk amunisi presisi berkadar rendah.

“Tingkat kecanggihan adalah hal yang paling besar dibutuhkan  di Mosul dibandingkan  beberapa konflik masa lalu,” kata Brigjen Angkatan Darat AS Scott Efflandt, yang mengepalai pusat operasi AS-Irak di Irbil, ibukota Kurdistan Irak di sebelah timur Mosul.

“Di sini kecanggihan musuh, kompleksitas dan ruang lingkup dan ukuran kota membuat bertarung jauh lebih sulit, katanya.

Para pejabat AS menjelaskan berbagai langkah yang diperlukan untuk mengotorisasi setiap serangan udara, termasuk verifikasi intelien. Para pejabat Pentagon mengatakan jarang mereka mengambil serangan yang mereka tahu akan membunuh warga sipil.

Pada saat yang sama, militer AS  mengakui bahwa serangan udara telah menewaskan sedikitnya 119 warga sipil di Irak dan Suriah sejak 2014. Kelompok pemantau  mengatakan angka yang benar adalah kemungkinan jauh lebih tinggi. Upaya untuk melumpuhkan pertahanan ISIS di Mosul akhirnya menunjukkan kekuatan sekaligus  keterbatasan operas udara koalisi.

Meski serangan udara telah mampu menghancurkan  pabrik bom mobil dan  mortir ISIS, pejabat Pentagon  mengakui bahwa militan telah beradaptasi dengan taktik AS, termasuk aturan  menghindari korban sipil.

Dalam satu insiden baru-baru ini, militan menembakkan mortir dari antara bangunan asrama yang  terletak di sebuah universitas di Mosul yang menyulitkan untuk ditembak. Menurut pejabat militer AS di Irak, tidak ada serangan untuk menghancurkan target itu.

Baik pesawat AS dan sekutu selalu mampu merespon dalam waktu cepat untuk melindungi pasukan Irak atau warga sipil di garis tembakan. Tetapi akan sangat sulit ketika mereka bergabung dengan warga sipil.

Sekitar pukul 17:30 pada 20 November 2016, para pejabat AS yang mengawasi operasi udara menerima laporan  dari pasukan kontraterorisme Irak di daerah Mosul bahwa pejuang ISIS  telah mengumpulkan sekelompok warga sipil di daerah terbuka di dalam kota, dan tampaknya mempersiapkan untuk mengambil tindakan terhadap mereka.

Sebuah drone diarahkan ke situs untuk mengetahui lebih lanjut. Melalui gambar yang diambil drone   para pejabat militer  bisa melihat militan memenggal kepala seorang warga sipil, kemudian menembak dua lagi.

Para pejabat segera meminta izin untuk menyerang mereka dengan  tembakan tidak akan dlakukan pada kerumunan masa tetapi pada  daerah tepat di belakang mereka. Enam menit kemudian, sebuah pesawat berada di tempat dan siap untuk menembak. Bom dipandu laser meledak tepat di belakang kelompok massa dan membuat mereka berhamburan.

Ternyata itu hanya menjadi efek sementara. Kurang dari 20 menit kemudian, para militan kembali, dan mulai mengubur mayat yang menjadi korban.

Exit mobile version