Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi yang bertempur di Yaman memulai gencatan senjata selama 48 jam pada Sabtu 19 November 2016. Ada harapan untuk berakhirnya perang yang telah membuat sengsara jutaan orang dan menyebabkan bencana.
Koalisi Teluk Arab telah memerangi pemberontak Houthi dan pasukan yang setia kepada mantan Presiden Ali Abdullah Saleh sejak Maret 2015 untuk memulihkan kekuasaan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang digulingkan oleh pemberontank itu pada 2014.
Lebih 10.000 orang terbunuh, menurut perkiraan PBB, dalam sebuah perang yang menimbulkan penyakit dan kelaparan.
Gencatan senjata itu mulai pada siang waktu setempat atau pukul 16.00 WIB, Kantor berita Arab Saudi SPA melaporkan, gencatan senjata akan diperpanjang jika Houthi, sekutu Iran, menunjukkan komitmen atas gencatan senjata tersebut dan mengizinkan bantuan masuk ke wilayah-wilayah yang terkepung.
Kelompok Houthi menyatakan pada Rabu pihaknya siap menghentikan pertempuran dan ikut dalam pemerintahan persatuan nasional.
“Rakyat Yaman melaksanakan hak mereka untuk membela diri dan ketika Arab Saudi menghentikan pertempuran, perang akan berhenti,” kata Mohammed al-Bukhaiti, seorang anggota politbiro Houthi, kepada kantor berita Reeuters pada Sabtu ketika ditanya mengenai komitmen kelompok tersebut atas gencatan senjata itu.
Tetapi dia mengatakan keputusan Arab Saudi mengumumkan gencatan senjata itu hanya beberapa jam sebelum gencatan dimulai tak cukup waktu untuk mengatur pengiriman konvoi-konvoi bantuan.
Pemerintahan Hadi di pengasingan telah meminta akses kemanusiaan bagi Taiz, kota yang dikepung Houthi, tempat ribuan warga sipil cedera dalam beberapa pertempuran sengit.
Gencatan senjata itu disepakati setelah diplomasi oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John kerry, tapi pihak Hadi mengatakan bahwa walapun sekutunya di Teluk telah diajak konsultasi, pemerintahnya telah disisihkan.
Baca juga:
Apakah Arab Ditakdirkan Kalah di Yaman (I): Bayang-Bayang Masa Lalu