Duduk mengangkangi Selat Bab el-Mandeb, yang memisahkan Laut Merah dan Samudera Hindia dan menjadi jalur 30 persen lalu lintas pengiriman dunia, Djibouti telah menjadi pusat kompetisi geostrategis di Afrika dalam beberapa tahun terakhir.
Permintaan China untuk membangun pangkalan militer pertama di negara gurun kecil menjadi berita utama akhir tahun lalu, terutama karena kedekatan instalasi mereka dengan fasilitas Amerika yang menjadi pangkalan terbesar di benua Afrika.
Jepang baru-baru ini juga melangkah. Tokyo telah mengadakan negosiasi dengan pemerintah Djibouti untuk memperluas pos militer kecil mereka di sana dan membawa pesawat angkut C-130, kendaraan lapis baja Bushmaster dan personel tambahan.
Setelah Presiden Djibouti Ismail Omar Guelleh memutuskan untuk menendang keluar sebuah pos sekunder Amerika di selatan negara itu untuk dijadikan ruang bagi fasilitas China di masa depan, Tokyo mulai khawatir pos militernya akan mengalami nasib yang sama. Mmenyadari bahwa perilaku Guelleh yang semakin tidak menentu serius bisa membahayakan keamanan nasional, terutama setelah orang kuat Djibouti tersebut untuk keempat kalinya berturut-turut memegang tampuk kekuasaan pada bulan April dengan membunuh puluhan tokoh oposisi, menangkap wartawan dan menyiksa aktivis.
Namun, keputusan mengejutkan Jepang untuk memperluas pangkalan Djibouti melampaui menjamin kepentingan keamanannya. Sebaliknya, langkah itu harus dilihat dalam konteks keinginan Tokyo untuk lebih terlibat di benua Afrika dan mengimbangi perilaku agresif China di Laut China Selatan dan di tempat lain.
Konferensi Internasional Pembangunan Afrika -Tokyo atau Tokyo International Conference on African Development (TICAD) keenam, yang dilakukan Jepang dan Uni Afrika pada 27 dan 28 Agustus, diadakan di Afrika untuk pertama kalinya dan Jepang berjanji untuk melakukan investasi pada proyek pembangunan senilai US$30 miliar.
Investasi murah hati ini dilakukan jelas untuk tujuan jangka panjang Jepang di Afrika: dengan ekonomi China melambat dan dengan banyak negara yang bergantung pada ekspor merasa ditinggalkan oleh Beijing – termasuk Angola dan Afrika Selatan – Tokyo siap untuk mengisi kekosongan tersebut. Dengan kata lain Tokyo akan mengejar China ke manapun dan menyainginya dengan segala cara.