Cangkul Saja Impor, Gimana Mau Bikin Jet Tempur?

Cangkul Saja Impor, Gimana Mau Bikin Jet Tempur?

Dalam beberapa hari terkahir kita diributkan dengan viral di media sosial tentang impor cangkul dari China. Kepada beberapa orang itu saya mengatakan “Kalian selama ini kemana? Kok baru ribut sekarang”

Bukannya saya mau membela rezim Widodo yang berkuasa sekarang ini, tetapi jika Anda mau sedikit saja berpikir sebelum menggerakkan jari anda untuk menulis di media sosial, maka sesungguhnya berita tentang impor cangkul ini sudah lama ada. Pada tahun 2002, ketika saya masih menjadi seorang jurnalis, pernah menulis tentang impor cangkul sekitar 2 juta per tahun yang dibeli dari China dan Vietnam.

Jadi ini bukan barang baru, hanya menjadi penguat bahwa bangsa ini memang tidak pernah bergerak maju, bahkan ketika pemimpin datang dan pergi.

Berulang kali saya menulis di banyak kesempatan, baik di blog, atau media tempat saya bekerja tentang betapa tidak rasionalnya negara kita ini. Impor cangkul hanyalah satu dari sekian banyaknya ketidakmutuan yang dialami negeri ini.

Berulang kali saya mengatakan betapa anehnya ketika Indonesia adalah negara agraris dengan tanah yang luar biasa subur dan cuaca yang ideal, semua bentuk bahan pangan nyaris kita impor. Dari beras, kacang, kedelai, buah, semua kita impor. Kalau kita adalah Singapura yang negara sangat kecil dan daerahnya untuk permukiman saja kurang, wajar kita impor. Ini Indonesia yang sangat luas dan subur.

Harusnya, Indonesia menjadi negara yang mempengaruhi harga pangan dunia. Ketika hasil pertanian di Indonesia bermasalah, maka harga pangan di dunia akan terganggu. Harusnya seperti itu, tetapi hanya di Indonesia yang memiliki tanah sedemikian luas ini, bahkan produsen tempe pun kelabakan  ketika harga kedelai negara lain naik. Hanya Indonesia yang memiliki lahan luas, tetapi tidak berdaya ketika Australia menaikkan harga daging sapi.

Silahkan saja saya disebut sebagai orang pesimis dan tidak nasionalis karena menjelek-jelekkan negara sendiri. Tetapi saya hanya bicara soal fakta yang butuh keberanian untuk mengakui. Fakta bahwa negara dengan garis pantai yang sedemikian luas, garam pun impor dari Singapura. Fakta bahwa ketika zaman Hindia Belanda kita adalah produsen gula terbesar di dunia, tetapi sekarang menjadi  pengimpor gula terbesar di dunia.  Fakta bahwa kita mengimpor beras dari Vietnam yang pada tahun 1960an masih porak poranda karena perang.

Mau fakta lain? Bertebaran di kanan kiri kita. Bangsa yang memiliki ribuan suku dengan budaya yang luar biasa, bahkan budaya dan seni saja kita impor. Memuja budaya orang lain dan baru marah-marah ketika budaya sendiri diklaim orang lain. Ketika reog dan angklung diklaim negara lain, maka pertanyaannya apakah Anda sebelumnya anda mencintai seni itu? Memilih menonton angklung atau reog di TVRI ketika secara bersamaan di stasiun televisi lain ada film barat? Coba jawab dengan jujur kalau berani. Baru ketika budaya itu  diklaim kita baru marah seolah kita selama ini merawatnya dengan baik.

Kalau kita mencintai budaya sendiri, maka tidak mungkin para seniman ketoprak hidup miskin. Cobalah sekali-kali melihat pentas ketoprak keliling yang dikenal dengan ketoprak tobong, atau seni asli di daerah anda. Berkali-kali saya melihat ketoprak  tobong dengan fakta memilukan karena jumlah pemain lebih banyak dari jumlah penontonnya. Kadang lima orang menonton dan mereka terus pentas. Dan sekarang Anda lihat tempat hiburan malam, tempat dugem, kafe dsb, tak pernah sepi oleh anak-anak muda.  Jadi masih mau mengaku cinta bangsa?

Sesungguhnya kita ini adalah pewaris peradaban dan budaya besar. Kita adalah pewaris Syailendra dan Sanjaya yang ribuan tahun telah mampu membangun mahakarya Borobudur dan Prambanan yang dahsyat.

Tetapi kita seperti bangsa yang tidak punya akar budaya dan justru memilih untuk menjadi “antek” budaya lain. China besar karena mewarisi semangat Mou Tze Dong, Vietnam bangkit karena menjaga seangat Ho Chi Min, Jepang luar biasa karena mewarisi semangat shogun dan samurai, India jauh meninggalkan kita karena tidak melupakan ajaran Gandhi.

Lalu kita mewarisi siapa? Kalau kita adalah anak turun Gadjah Mada, Amurwabumi, Iskandar Muda maka kita harusnya bangsa yang sangat disegani. Kalau kita adalah penerus Tjut Nyak Dien, Sultan Agung, Hasanuddin, maka kita tidak  akan pernah tunduk di depan kekuatan  asing. Jika kita adalah penerus Diponegoro,  Patimura, Imam Bonjol hingga Jendral Besar Sudirman, maka tim sepakbola kita akan luar biasa dan tidak akan terus-terusan kalah.

Tetapi apa boleh buat, bangsa ini sudah sangat menjadi bangsa peniru yang bangga menggunakan budaya dan teknologi orang lain. Kalau kemudian cangkul saja mengimpor apakah layak kita berharap kita bisa memproduksi jet tempur?

Amiruddin Z

Pendiri JejakTapak