*) Penuturan Art Miller,salah satu pilot pesawat tempur Amerika di Perang Dunia II
Selama Perang Dunia II, sebuah kehormatan bagi saya untuk menerbangkan F4U Corsair bersama Korps Marinir (VMF 222, MAG-14) di sekitar Solomon, Filipina, dan pulau-pulau Ryukyu. Basis kami ada di Yontan Airfield di Okinawa.
Suatu hari pada tahun 1945, ketika saya sedang melakukan patroli udara di daerah Buckner Bay lepas pantai selatan Okinawa, salah satu operator kami, USS Franklin, mengabarkan telah menembak sebuah pesawat kamikaze. Kemudian pesawat tak dikenal kedua dilaporkan memasuki daerah tersebut. Beberapa menit kemudian, aku melihat Zero (julukan pesawat kamikaze) terbang sangat rendah di atas air.
Aku mendorong tongkat ke depan, hanya 20 meter di atas laut di kecepatan 300 mph-dan bisa mendekati Zero. Corsair dilengkapi dengan enam senapan mesin Browning, dan aku melepaskan tembakan. Zero membelok ke kiri tajam untuk menghindari tembakan saya. Aku hanya 100 meter di belakangnya, dan aku melihat ujung sayapnya menyentuh air dan Zero terguling dan jatuh ke laut. Pada kecepatan kami terbang menabrak air sama seperti menabrak dinding bata. Sebelum pilot bisa keluar, Zero tenggelam.
Saat aku menarik tongkat kembali naik tetapi saya merasakan ada masalah dan menyadari bahwa aku telah terkena tembak dari senjata anti-pesawat angkatan laut Amerika sendiri. Pada banyak pertempuran pesawat kami sering tertembak oleh Jepang, tapi selalu ada cara untuk bisa kembali ke pangkalan. Tapi kali ini aku tahu aku berada dalam masalah serius.

Saya merasakan tekanan hidrolik turun ke nol, sehingga tidak mungkin untuk menurunkan landing gear dan flaps sayap untuk mendarat normal. Aku mengkontak pangkalan untuk bisa mendarat tanpa roda.Tapi saya diberitahu bahwa dengan membawa peluru tajam dan bahan bakar hal itu akan sangat berisiko memunculkan ledakan.
Air Command akhirnya memutuskan bahwa pilihan terbaik saya akan pendaratan di air. Hanya ada satu masalah yakni aku adalah perenang terburuk di dunia. Saat di sekolah penerbangan aku hampir tidak lolos karena aku tidak bisa lulus tes berenang. Kita harus berenang di kolam renang, aku selalu ditarik keluar dari kolam renang dengan tali.
Pada hari tes, kolam itu penuh sesak dengan orang-orang, saya diam-diam berjalan ke ujung kolam, duduk dekat instruktur, kemudian menyelinap ke dalam air. Setelah beberapa detik ia melihat saya di kakinya dan berkata, “Miller, pekerjaan yang baik. Saya tidak berpikir Anda akan berhasil.” Tapi tipuan itu tidak bisa digunakan di Pasifik apalagi dengan hiunya yang terkenal ganas.
Sekarang, saat aku berada di Pasifik, sebelah selatan dari Buckner Bay, Corsair saya rusak. Untungnya laut sangat tenang, jadi saya mudah mengarahkan pesawat. Aku datang dengan hidung, lalu biarkan ekor menyentuh air pertama kali, menciptakan cukup drag untuk menurunkan perut sampai tiba di dalam air.
Aku akhirnya berhenti. Saat itulah saya memecahkan rekor kecepatan dunia untuk keluar dari kokpit dan berlari ke ujung sayap, mengucapkan doa singkat, dan meluncur ke Pasifik.
Terombang-ambing di laut, saya berenang menjauh dari Corsair yang indah, lalu melihatnya tenggelam sambil berpkir saya baru saja menenggelamkan pesawat canggih seharga $ 100,000.

Beberapa kapal di daerah telah melihat saya turun. Dalam waktu 20 menit-yang merasa seperti 20 jam hingga sebuah kapal penyapu ranjau menurunkan sebuah perahu kecil dan menjemputku.
Saya langsung dibawa ke dermaga di Naha di Okinawa dan dilarikan ke rumah sakit Angkatan Laut untuk pemeriksaan fisik menyeluruh. Untuk misi itu, saya dipromosikan ke pangkat kapten dan menerima Distinguished Flying Cross kedua saya.
Art Miller berusia 19 tahun dan menjadi mahasiswa di Universitas Connecticut ketika Pearl Harbor diserang. Dia melakukan terbang 111 misi tempur di Pasifik sebagai pilot pesawat tempur, dan dua kali dianugerahi Distinguished Flying Cross.
Sumber:airspacemag.com