Sementara itu Lyle Goldstein, seorang pakar isu maritim China dari Perguruan Tinggi Perang Laut AS mengatakan meski Rusia dapat menawarkan sistem persenjataan bermutu tinggi, Filipina harus memperhitungkan keselarasan mereka dengan peralatan buatan Amerika yang sudah ada.
“Anda tidak dapat sekadar membeli radar dari negara ini dan misil dari negara itu, persenjataan harus bekerja selaras,” kata Goldstein.
Dia menyebutkan bahwa banyak pejabat Filipina dididik di AS, menghubungkan erat budaya militer kedua negara.
Hubungan militer antara AS dengan Filipina sangat baik dalam perdagangan senjata, memperluas latihan militer dan dukungan perawatan.
Amy Searight, mantan wakil asisten menteri pertahanan AS untuk Asia Selatan dan Tenggara menambahkan Rusia dan China tidak memiliki reputasi serupa terkait pemberian latihan dan dukungan.
“Amerika Serikat dikenal karena cukup baik dalam spektrum dukungan untuk membangun kemampuan,” katanya.
“Itu bukan hanya persenjataan atau perlengkapan atau kendaraan ataupun peralatan. Mereka menggunakan itu untuk membangun kemampuan.”
Heydarian menduga tujuan Duterte adalah untuk memberikan sinyal kepada China bahwa dirinya bersedia untuk mengubah kerjasama militer AS-Filipina yang sudah ada, meskipun hanya sedikit.
Hal itu, menurutnya, mungkin berarti merelokasi latihan militer tahunan AS-Filipina Balikatan dari Laut China Selatan, atau menolak memperluas akses militer Amerika ke markas-markas Filipina.
Duterte juga dapat dipandang mencoba memperkuat kedudukannya demi mendapatkan harga lebih baik untuk peralatan militer dari Amerika Serikat. Persenjataan buatan Rusia dan China pada umumnya lebih murah daripada buatan Amerika Serikat.