Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan akan mengurangi pembelian senjata dari Amerika dan beralih ke China atau Rusia. Hal itu diyakini tidak akan semudah kata-kata yang dilontarkan Duterte.
Duterte mengatakan dalam pidato di Manila pada Selasa 4 Oktober 2016 bahwa Amerika Serikat tidak ingin menjual sejumlah peluru kendali dan persenjataan lain ke Filipina, namun Rusia dan China mengatakan kepadanya bahwa mereka dapat menyediakan perlengkapan itu dengan mudah.
Tanggapan itu adalah yang terbaru dari serangan terhadap AS, yang dikeluarkan hampir tiap hari, yang memicu pertanyaan terkait persekutuan lama, yang penting bagi strategi AS untuk menyeimbangkan pasukan mereka di Asia dan menangkal pengaruh China.
Karena dibuat marah oleh tanggapan AS terhadap perang melawan narkotikanya, Duterte menyebut Presiden Barack Obama sebagai “anak pelacur”, mengancam mengakhiri pelatihan militer gabungan dengan Washington dan mulai mendekati pesaingnya, Rusia dan China.
Gedung Putih mengatakan pada Selasa bahwa Amerika Serikat belum menerima hubungan resmi dari pemerintahan Duterte terkait perubahan hubungan.
Amerika Serikat merupakan penyedia senjata terbesar tunggal bagi Filipina, menurut data yang dimiliki oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), yang melacak pengeluaran militer secara global.
Kedua negara semakin memiliki hubungan militer dekat dalam dua tahun terakhir dengan mengadakan lebih banyak latihan, dan lebih banyak kunjungan kapal dan pesawat AS sebagai bentuk usaha diplomatis di Asia untuk menghadapi China.
Filipina merupakan penerima bantuan Amerika Serikat terbesar di wilayah Asia-Pasifik di bawah program Pendanaan Militer Asing, yang diberikan oleh AS untuk membantu sejumlah negara membeli peralatan dan persenjataan buatan Amerika. Negara itu menerima US$50 juta dalam program tersebut pada tahun 2015.
“Ketergantungan terhadap persenjataan dan sistem AS berarti militer Filipina harus mengatur ulang struktur komando dan pengendalian jika mereka ingin berpindah ke sistem buatan China atau Rusia,” ujar Richard Javad Heydarian, profesor dari Universitas De La Salle di Manila dan seorang mantan penasihat Dewan Perwakilan Filipina sebagaimana dikutip Reuters Rabu 5 Oktober 2016.
“Akan ada sejumlah permasalahan dengan pengaturan,” tambah Heydarian. “Itu memerlukan waktu bertahun-tahun bagi tentara Filipina untuk membiasakan diri mereka dengan teknologi yang baru”.
Filipina menghabiskan US$3,9 miliar untuk sektor militernya pada 2015, menurut data SIPRI. Anggaran itu telah meningkat hampir tiap tahunnya sejak 2010 yang kala itu berjumlah US$2,4 miliar.