71 Tahun TNI; Harus Berjuang Keras di Tengah Kepungan Konflik dan Siluman

71 Tahun TNI; Harus Berjuang Keras di Tengah Kepungan Konflik dan Siluman

5 Oktober 2016, Tentara Nasional Indonesia genap berusia 71 tahun. Berbeda dengan peringatan tahun lalu yang dilakukan dengan gegap gempita, kali ini perayaan dilakukan dengan sederhana.

Tidak ada show of force dengan menampilkan kekuatan terbaiknya. Selain untuk penghematan karena situasi ekonomi yang tidak begitu baik, Panglima TNI  Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menuturkan, demonstrasi alutsista tidak dilakukan karena TNI tidak memiliki persenjataan baru.

“Pada 2015 kami sudah tunjukkan semua alusista yang ada, yang terbaru. Sekarang belum ada yang baru, belum datang lagi. Tahun 2017 yang baru akan datang,” ujarnya di Jakarta Minggu 2 Oktober 2016. Tidak masalah, hal itu tidak akan mengurangi kehikmatan memperingati sebuah moment penting.

Di tengah situasi berbagai sudut dunia yang semakin panas serta pola baru peperangan modern menjadikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menghadapi tantangan besar. Militer Indonesia menghadapi situas sulit ketika bicara tentang konflik Laut China Selatan. Meski tidak terlibat langsung dalam konflik territorial, Indonesia telah berada di pinggiran masalah yang jika salah melangkah akan terseret ke episentrum konflik.

Meski pemerintah selalu mengatakan “netral” dalam konflik tersebut, tetapi fakta menunjukkan secara jelas negeri ini telah tumbuh menjadi negara yang sangat tergantung pada negara lain. Sialnya, China dan Amerika, dua negara yang head to head di wilayah ini sangat berpengaruh pada detak Indonesia.

Ini menjadikan posisi Indonesia sangat sulit. Jika bergeser sedikit saja ke Beijing, maka Washington hampir pasti akan menyeringai. Demikian juga sebaliknya.

Dalam sektor pertahanan, Indonesia yang jauh dari kata mandiri alutsista juga sangat tergantung pada dua negara tersebut. Ini juga bukan posisi yang nyaman.

Hampir seluruh negara di kawasan ini telah meningkatkan kemampuan militer mereka, salah satunya dengan membeli sejumlah sistem persenjataan baru. Sementara mari kita akui, sampai tahun ketiga, nyaris tidak ada kesepakatan pembelian senjata yang dilakukan pemerintahan Presiden Widodo.

Senjata baru yang diterima oleh TNI secar jujur harus diakui adalah kesepakatan warisan rezim sebelumnya. Dari 26 F-16 hibah Amerika, pembelian kapal selam Chang Bogo dari Korea Selatan, tank Leopard dari Jerman, jet tempur FA-50, pesawat Super Tucano adalah kesepakatan lama. Pembanguna pesawat tempur KF-X/IF-X dengan Korea Selatan pun jika mau merunut lebih jauh muncul jaman pemerintahan sebelumnya.

Sementara rencana pemerintahan Widodo untuk menambah pembelian senjata seperti belum juga menetas. Rencana pembelian jet tempur Su-35 dari Rusia timbul tenggelam tidak jelas nasibnya.

Bahkan pada Agustus 2016 diputuskan anggaran pertahanan Indonesia dipangkas hampir Rp2.3 triliun hingga memaksa Kementerian Pertahanan untuk menunda sejumlah rencana pembelian senjata.

“Ya kena semua. Sekarang ini berapa triliun lagi gitu setelah kemarin Rp 2,8 triliun. Jadi kita akhirnya menunda beberapa pembaruan Alutsista,” ujar Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu di Jakarta Agustus lalu.

Menurutnya, proyek pengadaan Alutsista harus ditunda hingga periode berikutnya. Ia berharap, kondisi perekonomian ke depan akan semakin membaik.

Ryamizard pun menegaskan bahwa Kemenhan sudah membuat skala prioritas pasca-pemangkasan anggaran. Dan yang paling diprioritaskan saat ini adalah kesejahteraan prajurit. Menurutnya, hal itu tidak bisa diganggu gugat karena sangat berpengaruh pada keamanan negara.

Di sisi lain, negara-negara tetangga terus meningkatkan alutsistanya. Australia baru saja meluncurkan pembangunan kapal selam baru bersama Prancis. Negara ini juga sedang menanti kedatangan jet tempur F-35. Sementara Singapur, meski masih jauh mereka juga dalam program membeli pesawat siluman tersebut. Singapura juga mengupgrade secara massif armada jet tempur F-16 mereka.

Filipina, juga membangun kekuatan udara mereka yang telah lumpuh bertahun-tahun dengan membeli pesawat FA-50. Thailand yang dalam beberapa dekade tidak memiliki armada kapal selam juga tengah mencari armada baru. Vietnam, jangan tanya lagi, negara ini terus membeli alutsista seperti jet tempur dan kapal selam dari Rusia. Pengangkatan embargo senjata oleh Amerika menjadikan negara ini makin memiliki banyak pilihan untuk memperkuat militer mereka.

Malaysia sepertinya menghadapi situasi mirip dengan Indonesia sehingga upaya pembaruan senjata seperti jet tempur juga masih belum jelas.

Bergeser lebih jauh, Pakistan, India, Korea Selatan, Jepang juga terus meningkatkan arsenal mereka dengan senjata-senjata paling canggih. Semua jelas tantangan besar bagi TNI.

Belum lagi menghadapi sistem perang hybrid yang saat ini secara kasat mata telah muncul di banyak titik dengan menggunakan sejumlah isu untuk memecah dari dalam persatuan rakyat. Dari ancaman komunis gaya baru, kapitalisme, kebebasan hingga gerakan lesbi, gay, bisexs dan transgeder (LGBT) telah disinyalir oleh TNI sebagai bagian dari perang proxy.

TNI harus memiliki strategi baru untuk menghadapi gaya perang seperti ini. Harus diingat, hybrid war terbukti sangat efektif menghancurkan banyak negara, terutama di Timur Tengah. Jika tidak siap, jangan situasi serupa juga akan menyapu negeri ini.

Akhirnya di tengah keterbatasan TNI harus bekerja keras untuk menghadapi kepungan siluman. Siluman dalam arti senjata yang menggunakan teknologi stealth serta perang tidak kasat yang sangat berbahaya. Mengutip syair Serdadu Iwan Fals, bahwa “runtuh dan tegaknya keadilan negeri ini, TNI harus tahu pasti”

Dirgahayu TNI, semoga semakin perkasa menjaga Indonesia