Meskipun ada perjanjian, dan sejumlah masalah ekonomi seperti banjir dan kelaparan mencengkeram Korea Utara di pertengahan sampai akhir 1990-an, negara terus mengembangkan teknologi rudal menengah dan jarak jauh. DPRK, mengklaim mereka meluncurkan sebuah satelit, bahkan roket terbang di atas Jepang dan ke Samudera Pasifik.
Pada tahun 2002, DPRK mengakui keberadaan program senjatanya, yang berarti melanggar perjanjian dengan Amerika Serikat. Tahun berikutnya DPRK secara resmi menarik diri dari NPT dan mulai memproduksi plutonium untuk senjata dari reaktor.
Diplomasi, bantuan luar negeri dan sanksi semua terbukti sia-sia dalam mencoba untuk membawa Korea Utara berhenti mengejar senjata nuklir. Pada pertengahan 2006, DPRK dikabarkan telah menghasilkan sebanyak 60 kilogram (27,3 pon) bahan bakar plutonium, yang cukup untuk membuat sebanyak 13 bom nuklir. Dan pada tahun yang sama, Korea Utara akhirnya menguji salah satu dari mereka.
Kim Jong-il yang kemudian diganti anaknya Kim Jong un tidak menghentikan mereka untuk mengembangkan nuklirnya. Bahkan tiga tahun setelah kematian ayahnya, Kim Jong-un dikabarkan telah berhasil mengembangkan 20 hulu ledak nuklir.
Selama kepemimpinannya Korea Utara melakukan dua kali uji nuklir. Pertama pada Januari 2016 yang disusul dengan uji roket jarak jauh dengan alasan membawa satelit ke luar angkasa.
Uji terakhir dilakukan pada 9 September 2016 lalu. Bahkan uji nuklir kelima dalam sejarah Korea Utara ini disebut sebagai uji bom nuklir terbesar dengan kekuatan melebihi bom atom yang dijatuhkan di Hirosima.