Setelah puluhan tahun fokus memburu informasi soal terorisme, Badan intelijen Amerika Serikat kini semakin banyak mengalihkan sumber daya mereka ke Rusia. Negara ini telah dinilai menjadi ancaman baru.
Washington Post mengutip sumber melaporkan Kamis 15 September 2016 Amerika Serikat memusatkan kegiatan mata-mata ke Rusia dalam tingkat belum pernah terjadi sejak Perang Dingin berakhir.
Sumber itu mengatakan pejabat Gedung Putih dan Kantor Direktur Intelejen Nasional (ODNI) memerintahkan agar Moskow menjadi salah satu perhatian utama.
Sekitar 10 persen dari sumber daya intelijen Amerika Serikat kini ditugaskan khusus untuk mengumpulkan informasi tentang Rusia.
Sumber Washington Post itu mengaku terkejut atas kebangkitan kembali Rusia di dunia. Mereka mengatakan bahwa kemampuan intelijen Amerika Serikat terus mengalami kemandulan melawan ancaman dari Rusia.
Pejabat intelijen AS itu mengatakan meski situasi belum kembali seperti periode Perang Dingin, di mana 40 persen sumber daya intelejen Amerika Serikat ditujukan untuk Uni Soviet, badan mata-mata Washington kini tengah mengejar ketertinggalan dari Rusia.
Meski demikian, ancaman terorisme masih merupakan prioritas paling tinggi bagi badan intelejen Amerika Serikat.
Ketegangan antara Washington dengan Moskow naik tajam sejak Februari 2014 lalu seusai peristiwa aneksasi terhadap Krimea oleh Rusia dan penggulingan pemerintahan di Kiev.
Menurut media, yang didanai pemerintah di Kremlin, Russia Today, Moskow terus mengulurkan bantuan bagi negara-negara Barat dalam sejumlah konflik di Suriah dan Yaman, meski negara-negara tersebut menerapkan sanksi ekonomi yang menghancurkan ekonomi Rusia.
Beberapa pejabat tinggi membenarkan laporan dari Washington Post mengenai sulitnya Amerika Serikat dalam menghadapi permaianan intelijen dari Rusia.
“Kegagalan memahami rencana dan niat [Presiden Rusia Vladimir] Putin telah menjadi kegagalan intelejen terbesar sejak peristiwa 11 September,” kata kepala Komite Intelejen Majelis Rendah Amerika Serikat, Devin Nunes, kepada Washington Post.
“Ini seharusnya menjadi perhatian. Namun kita terus saja membuat kesalahan,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Intelejen Nasional, James R. Clapper, pada tahun lalu mengakui bahwa para analisnya masih kesulitan menghadapi kebijakan luar negeri dari Putin.
Clapper menyebut Putin sebagai presiden “impulsive dan oportunis” yang tidak secara konsisten mempertimbangkan tujuan strategis dalam bertindak. “Saya tidak yakin Putin punya rencana jangka panjang,” kata Clapper kepada CNN.
Baca juga: