Melacak Jejak Kapal Perang Rusia di Indonesia pada Perang Rusia-Jepang
Kapal-kapal perang angkatan laut Rusia tengah berlabuh di Sabang pada 1903 untuk mengisi batu bara sebelum melanjutkan perjalanan ke Port Arthur. Kapal di bagian depan adalah Retvizan, sedangkan di belakangnya adalah Diana / Wikipedia

Melacak Jejak Kapal Perang Rusia di Indonesia pada Perang Rusia-Jepang

Foto Pelabuhan Sabang pada 1904. Terlihat sebuah kapal Rusia sedang berlabuh dan mengisi bahan bakar. Foto diambil dari memoar Hein van Dugteren, bendahara Serikat Buruh Belanda, NVV, yang menjadi saksi mata kehadiran kapal-kapal Rusia di Hindia Belanda selama Perang Rusia-Jepang/vakbondshistorie.nl
Foto Pelabuhan Sabang pada 1904. Terlihat sebuah kapal Rusia sedang berlabuh dan mengisi bahan bakar. Foto diambil dari memoar Hein van Dugteren, bendahara Serikat Buruh Belanda, NVV, yang menjadi saksi mata kehadiran kapal-kapal Rusia di Hindia Belanda selama Perang Rusia-Jepang/vakbondshistorie.nl

Bagi Hindia Belanda, bangkitnya Jepang sebagai kekuatan baru di Asia jauh lebih mengancam daripada kehadiran kapal-kapal perang Rusia.

“Asia bagian utara bukan hanya tempat Jepang akan memperluas wilayahnya, Asia Tenggara juga masuk ke dalam penglihatan mereka. Formosa (Filipina) akan menjadi jembatan ke Hindia Belanda, yang kekayaan sumber daya alamnya bukan lagi sebuah rahasia bagi Jepang,” tulis Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War, 1914 – 1918.

Karena alasan itulah, meski bersikap netral, beberapa pihak di Hindia Belanda pada dasarnya bersimpati kepada Rusia, salah satunya adalah kaum pedagang Eropa. Selama tahun 1904, NHM di Sabang diam-diam meneken kontrak dengan Angkatan Laut Rusia untuk memasok batu bara bagi kapal-kapal Rusia, bahkan meminta kantor-kantor mereka di Surabaya dan Makassar untuk melakukan hal yang sama.

Di medan Perang, Jepang berhasil menguasai Port Arthur dan menghancurkan Armada Timur Jauh pada 2 Januari 1905. Kapal utama armada Rusia, Petropavlosk, bahkan tenggelam bersama dengan tewasnya pemimpin mereka, Laksamana Stepan Makarov. Pada 20 Februari 1905, pasukan darat Jepang sekali lagi memukul mundur Tentara Rusia dalam Pertempuran Mukden.

Berita-berita kekalahan ini membuat moral awak Armada Baltik yang masih dalam perjalanan ke Port Arthur menurun drastis. Armada tersebut kemudian disergap oleh Angkatan Laut Jepang di Selat Tsushima pada 27 Mei 1905. Pertempuran terjadi dan Armada Baltik kalah.

Sebelas kapal perang Rusia tenggelam, termasuk kapal utama Knyaz Suvorov. Sebagian besar kapal penjelajah dan perusaknya hancur. Sebanyak 4.380 pelaut Rusia tewas dan 5.197 ditawan.

Kapal-kapal yang berhasil lari dari pertempuran dikejar-kejar oleh Jepang, salah satunya adalah Kostroma, sebuah kapal rumah sakit yang lari ke perairan Hindia Belanda.

Angkatan Laut Hindia Belanda sedang berada di Batavia saat Kostroma yang dinahkodai oleh Kapten Nikolay Smielsky tersebut meminta izin memasuki Pelabuhan Tanjung Priok.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tertanggal 25 April 1905 melaporkan bahwa Kostroma diawaki oleh empat dokter, lima perwira, seorang ahli farmasi, dan sembilan perawat dari Palang Merah beserta 120 pelaut.

Para perawat yang semuanya perempuan tersebut rupanya menarik perhatian para pelaut Belanda dan mereka pun dijamu sedemikian rupa selama berlabuh di Tanjung Priok.

Setelah mengalami serangkaian kekalahan, Rusia pun terpaksa berdamai dengan Jepang melalui Perjanjian Portsmouth yang ditandatangani pada 5 September 1905. Rusia harus meninggalkan Manchuria.

Kekalahan Rusia memberi jalan bagi Jepang untuk menjadi kekuatan dominan di Asia Timur. Ketakutan Hindia Belanda terhadap ekspansi Jepang akhirnya menjadi kenyataan kala Jepang menyerbu pada Perang Dunia II. Hindia Belanda akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942.

Sumber: Indonesia RBTH