
Jepang menganggap hal itu sebagai bentuk provokasi dan akhirnya Jepang mendeklarasikan perang pada 8 Februari 1904. Kapal-kapal Jepang langsung memblokade Port Arthur.
Geram karena melihat posisi Rusia yang terdesak, pada 15 Oktober 1904 Tsar Nikolay II memerintahkan Armada Baltik di Eropa yang dipimpin Laksamana Madya Zinovy Rozhestvensky untuk berangkat ke Port Arthur dan membantu Armada Timur Jauh melawan Angkatan Laut Jepang.
Perang Rusia-Jepang ditanggapi oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia dengan sikap netral. Menurut hukum internasional, netralitas tersebut membuat pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda kini tertutup bagi kapal-kapal perang Rusia dan Jepang selama keduanya berada dalam status perang.
Namun, kedatangan Armada Baltik yang akan melewati Sabang membuat Jepang cemas. Jepang memberi peringatan keras agar Hindia Belanda tidak membuka Sabang bagi Armada Baltik, atau Jepang akan mempertanyakan netralitas Hindia Belanda.
Masalahnya, Hindia Belanda tidak memiliki angkatan laut yang cukup kuat untuk menghalau Armada Baltik jika mereka memaksa untuk mengisi bahan bakar di Sabang. Beruntung, Armada Baltik tidak menimbulkan masalah ketika melewati Hindia Belanda — lebih tepatnya karena angkatan laut Hindia Belanda sama sekali tidak berhasil mendeteksi kapal-kapal perang Rusia tersebut.
“Pemerintah Hindia Belanda melakukan pengawasan yang ketat karena armada Rusia kemungkinan akan melewati Sabang; armada tersebut pada kenyataannya memang berlabuh di Pantai Anambas (Kepulauan Riau).
Dilaporkan pula terlihat adanya kapal-kapal perang asing, kemungkinan dari Jepang, pada akhir tahun 1904 dan awal tahun 1905,” tulis J.N.F.M. a Campo dalam Engines of Empire: Steamshipping and State Formation in Colonial Indonesia.