Thae Yong-ho, pembelot paling tinggi dari Korea Utara ke tetangganya di Selatan, mungkin punya perlindungan 24 jam dan hidup layak dengan bekerja di lembaga penelitian milik badan intelejen Seoul, kata sejumlah pelarian elit lain.
Sebelum berkhianat ke Korea Selatan, Thae adalah wakil duta besar Korea Utara di London. Dia tiba di Seoul pada Rabu 17 Agustus 2016 dan menjadi kejadian memalukan bagi pemimpin Kim Jong-un, yang semakin terkucil.
Sebagian besar dari sekitar 27.000 pelarian asal Korea Utara, yang miskin, ke Selatan kesulitan menyesuaikan diri dan terpinggirkan secara ekonomi. Namun, pembelot elite seperti Thae diperlakukan istimewa karena bisa memberi informasi berharga.
Pelarian elite lain, Kim Kwang-jin kini bekerja bagi Institute for National Security Strategy (INSS), lembaga penelitian milik badan mata-mata Korea Selatan, National Intelligence Service (NIS).
“Tentu saja semua orang perlu bekerja untuk hidup di sini. Pemerintah Korea Selatan menawarkan pekerjaan kepada warga. Saya diberi kesempatan bekerja di INSS,” kata Kim yang lari bersama keluarganya pada 2003 saat bekerja di Singapura bagi perusahaan asuransi Korea Utara.
Sementara itu, Choi Ju-Hwal adalah kolonel angkatan bersenjata Korea Utara saat melarikan diri ke Selatan melewati Hong Kong pada 1995. Dia adalah penghianat tertinggi dari militer pada saat itu dan kini menjadi kepala Asosiasi Pelarian Korea Utara.
“Pemerintah tidak bisa membiayai hidup Thae tanpa imbalan. Dia mungkin akan diberi pekerjaan di sebuah institut penelitian,” kata Choi, yang sekarang sudah berusia 67 tahun.
Beberapa pelarian mengubah nama untuk melindungi diri dan keluarga, yang ditinggalkan.
“Thae tidak akan terlalu banyak tampil di publik karena dia harus memikirkan keselamatan keluarganya. Diam akan membuat orang-orang di sekitarnya relatif aman,” kata Choi.
Choi bercerita, selama dua tahun pertama, dia dikawal empat polisi semala 24 jam. Sekarang tidak demikian. Hal yang sama juga dialami Kim, mantan pekerja asuransi.
Sebagian besar pelarian biasa harus berjalan melewati perjalanan berbahaya untuk menyeberangi perbatasan Korea Utara dengan China sebelum melanjutkannya dengan pesawat ke Korea Selatan.
Setelah tiba, mereka ditahan selama maksimal 180 hari untuk memastikan bahwa mereka bukan mata-mata. Selanjutnya, mereka dipindahkan ke kompleks pemukiman sementara untuk 12 minggu tanpa boleh keluar.
Banyak di antara mereka bekerja di restoran atau pekerjaan dengan gaji rendah lainnya. Pelarian biasa itu hanya mendapatkan 67 persen dari rata-rata gaji nasional.
Setelah menyelesaikan program penyesuaian, mereka menerima 20 juta won untuk rumah dan pekerjaan. Sebagian dari uang itu banyak digunakan untuk membayar penyelundup, yang membantu mereka melarikan diri.
“Pelarian biasa kesulitan mendapatkan pekerjaan dan pendirikan di sini,” kata Seo Jae-pyoung yang meninggalkan Korea Utara pada 2001.
Secara keseluruhan, jumlah pelarian dari Korea Utara ke Selatan menurun sejak Kim menggantikan ayahnya pada 2011 lalu. Namun, pada tujuh bulan pertama 2016, jumlah tersebut naik 15 persen menjadi 814.