Pesawat-pesawat tempur koalisi negara-negara Teluk membombardir rumah sakit milik lembaga Dokter Tanpa Batas (MSF) di kawasan utara Yaman pada Senin, dengan korban tewas setidaknya 11 orang dan korban luka 19, demikian MSF menyatakan Selasa 16 Agustus 2016
Seorang saksi Reuters di lokasi, distrik Abs provinsi Hajja, mengatakan bahwa para petugas medis tidak dapat dengan segera mengevakuasi para korban luka karena pesawat tempur masih terbang di sekitar area tersebut. Mereka mengkhawatirkan serangan bom lanjutan.
“Lokasi rumah sakit ini sudah diketahui banyak orang. Selain itu, koordinat GPS rumah sakit itu juga sudah sering dibagi kepada semua pihak dalam konflik, termasuk koalisi Teluk,” kata MSF dalam pernyataan tertulis.
MSF mengaku bahwa salah seorang stafnya tewas saat bom udara mengenai kompleks rumah sakit, sementara 10 korban lainnya adalah pasien.
“Ini adalah serangan keempat terhadap fasilitas MSF dalam 12 bulan terakhir,” tulis organisasi tersebut.
“Bahkan dengan resolusi dari PBB yang meminta penghentian serangan terhadap fasilitas medis dan deklarasi komitmen penghormatan hukum humaniter internasionial, masih belum ada penghormatan terhadap stamedis dan pasien dari semua pihak yang berkonflik di Yaman,” kata MSF. Koalisi Teluk hingga kini belum merespon tudingan MSF.
Sebelumnya pada Sabtu, serangan udara dari koalisi Teluk menghancurkan sebuah sekolah di provinsi Saada sehingga menewaskan 10 anak. Pihak koalisi sendiri membantah tudingan tersebut dan mengaku menyasar fasilitas pelatihan milik Houthi.
Sekretaris Jenderal PBB Bank Ki-moon mengecam serangan tersebut pada Ahad dan meminta investigasi.
Puluhan serangan udara menghancurkan sejumlah fasilitas sipil di Yaman sejak koalisi Teluk, yang dipimpin Arab Saudi, memulai operasi militer pada Maret 2015 untuk mengembalikan kekuasaan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi dan mengalahkan Houthi.
Houthi dan sekutunya di partai Kongres Rakyat Umum (GPC) yang dipimpin mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada bulan ini membentuk sebuah dewan untuk menjalankan pemerintahan di sejumlah wilayah yang mereka kuasai.
Dalam dekrit pertama pada Senin, dewan tersebut menyatakan diri sebagai “otoritas tertinggi negara yang menjalankan seluruh kekuasaan milik presiden.” PBB dan kubu pemerintahan Hadi mengkritik pembentukan dewan tersebut.