Perang Dunia I dianggap sebagai perang “total” pertama. Bukan hanya karena besarnya kerusakan dan korban jiwa, tetapi juga kaena begitubanyak penduduk sipil yang direkrut untuk maju perang.
Saat laki-laki pergi perang, maka perempuan akhirnya mengambil peran laki-laki. Banyak kaum hawa yang bekerja di bidang yang secara tradisional sebenarnya milik laki-laki seeprti di bidang transportasi dan industri. Sebagian perempuan lain juga berangkat ke perang sebagai perawat, tukang cuci, tukang masak, dan driver.
Tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ketika Perang Dunia I, Uni Soviet membentuk sebuah unit tempur yang seluruhnya berisi perempuan. Unit ini bahu membahu dengan tentara pria di garis depan pertempuran.
Menurut artikel Melissa Stockdale yang berjudul “My Death for the Motherland Is Happiness’: Women, Patriotism, and Soldiering in Russia’s Great War,” unit yang dikenal sebagai The First Women’s Battalion of Death diperkirakan beranggoakan sekitar 6.000 perempuan Rusia.
Untuk memahami bagaimana batalyon ini dibentuk yang pertama adalah harus memahami beberapa situasi dalam negeri Rusia saat itu. Pada bulan Maret 1917, Kaisar Nicholas, dibawa ke fakta bahwa ia tidak bisa lagi melawan gelombang revolusi dan harus turun dari takhta menuju pemerintahan baru yang demokratis. Bulan-bulan berikutnya dia melihat banjir kebijakan liberal dan egaliter di seluruh Rusia, dengan perempuan mendapatkan suara, serta hak hukum untuk upah yang sama.
Sementara itu, pemerintah baru juga percaya bahwa kemenangan dalam Perang Dunia sangat penting untuk kepentingan negara. Laurie Stoff, penulis They Fought for the Motherland: Russia’s Women Soldiers in WWI and the Revolution, menulis bahwa Menteri Perang baru Alexandra Kerensky sekarang dihadapkan dengan tugas raksasa untuk memenangkan perang. Sementara situasi masih sangat kacau dan rendahnya semangat tentara.
Untuk membangun rendahnya moral tentara ini Kerensky memberi ajwaban dengan menciptakan apa yang disebut “batalion shock,” atau “batalyon kematian,” yang ia dibayangkan sebagai brigade yang paling disiplin untuk dijadikan contoh. Mereka akan secara teoritis akan dikerahkan ke berbagai tempat di sepanjang depan untuk mengobarkan semangat perang.
Visi Kerensky untuk membentuk shock batalyon ini hampir bertepatan dengan ide petani wanita Maria Bochkareva untuk membangun pasukan wanita guna mengobarkan semangat atau setidaknya memunculkan rasa malu pada prajurit laki-laki.
Bochkareva benar-benar yakin pada kemampuan wanita untuk bertempur, Kementerian Perang melihat usulan ini sebagai alat propaganda yang sempurna. Kerensky pun memberi izin untuk pembentukan The First Women’s Battalion of Death di bawah komando Bochkareva.
Next: Disambut Luar Biasa
Disambut Luar Biasa
Menurut sejarawan Richard Abraham, The First Women’s Battalion of Death ditampilkan di publik pada akhir Mei dengan kampanye publisitas besar di seluruh St. Petersburg, dan dalam hitungan minggu Batalyon memiliki lebih dari 2.000 perempuan dari beragam latar belakang dan tingkat pendidikan yang mendaftar.
Pendaftaran terbuka untuk perempuan berusia minimal 18 tahun. Tetapi untuk wanita berusia di bawah 21 tahun tetap harus mendapakan izin orangtua untuk bergabung.
Setelah persyaratan dipenuhi, maka dilakukan tes kesehatan dan latihan baris berbarissebagai tahap pertama latihan perang.
Para wanita ini kemudian dicukur pendek ala laki-laki serta menghilangkan segala bentuk feminitas yang dianggap tidak praktis. Pakaian seragam yang dipeberikan juga sama dengan tentara laki-laki. Tetapi ada sejumlah masalah dalam seragam salah satunya dalam hal alas kaki karena ukuran sepatu laki-laki dan wanita tidak sama.
Untuk lebih menegakkan identitas baru mereka, Bochkareva akan memberikan hukuman kepada anggotanya yang tersenyum berlebihan dan cekikikan atau berperilaku terlalu feminin dan didorong untuk meludah, merokok, dan mengumpat.
Para wanita ini juga menjalani latihan yang melelahkan. Dibangunkan pukul 05.00 pagi untuk kemudian latihan keras hingga jam 21.00. Mereka tidur di papan dengan selimut tipis. Dan tidak lupa mereka juga dilatih untuk menangani senjata.
Setiap perilaku yang dianggap “genit” atau feminin sangat dilarang, dan Bochkareva dikenal akan menghukum pelanggaran bahkan yang kecil dengan hukuman fisik. Dia menginjak tanda-tanda kewanitaan tidak hanya dalam upaya untuk membuat “prajurit dari kaum hawa,” tetapi juga untuk mengekang kecemasan pemerintah bahwa tentara wanita di depan akan menghasilkan hubungan seksual terlarang. Sebagai salah satu pejabat menyatakan, “Siapa yang akan menjamin bahwa kehadiran tentara wanita di depan tidak akan menghasilkan ada tentara kecil?”
Next: Tak Kuat Dihina
Tak Kuat Dihina
Menurut Melissa Stockdale meski di dalam negeri pasukan wanita ini dielu-elukan tetapi tetap saja mendapat sambutan sinis ketika dikirim ke garis depan pertempura. Para tentara pri menyambut mereka dengan ejekan dan cemohan sinis. Tidak hanya karena kebencian terhadap wanita telah berakar di kompleks dan budaya militer, tetapi secara umum, para prajurit pria ini memang sedang dalam mental yang lemah dan kelelahan berperang.
Bahkan ketika Batalyon Perempuan ini membuktikan diri secara disiplin dan berani di bawah tembakan, tentara laki-laki tetap marah dan merasa dihina oleh kehadiran mereka. Hanya dalam beberapa bulan, Bochkareva terpaksa membubarkan unit dan memungkinkan wanita untuk bergabung kelompok lain di mana pun yang menurut mereka cocok. Dalam memoarnya, Yashka, My Life As A Peasant, Exile, dan Soldier, Bochkareva, menulis:
“Mereka tidak bisa tahan lebih lama di mana mereka. Mereka siap untuk melawan Jerman, disiksa oleh mereka, mati di tangan mereka atau di kamp-kamp penjara. Tapi mereka tidak siap untuk siksaan dan penghinaan yang dari orang-orang kita sendiri. Yang tidak pernah masuk ke dalam perhitungan kami pada waktu itu Batalyon dibentuk. ”
Setelah Bolshevik pengambilalihan utama di musim gugur, Rusia menarik diri dari perang sama, dan batalyon perempuan memudar dan hampir tidak dicatat dalam sejarah Rusia. Beberapa ahli berspekulasi bahwa ini adalah karena batalyon begitu erat terkait dengan propaganda militer dari rezim lama, sedangkan yang lain menyatakan bahwa itu lebih berkaitan dengan keinginan rakyat Rusia yang putus asa untuk kembali ke situasi normal setelah bertahun-tahun terlibat perang baik di luar maupun di dalam negeri.
Stockdale menulis bahwa para prajurit perempuan itu sendiri memiliki masalah sulit menyesuiakan diri kembali ketika mereka pulang ke rumah. Potongan rambut yang khas membuat mereka langsung dikenali sebagai mantan anggota batalyon perempuan, dan mereka sasaran empuk penyiksaan. Ada saksi mata yang melihat mantan anggota batalion dipukuli, diserang secara seksual, dan bahkan dilempar dari kereta yang sedang bergerak.
Hebatnya, banyak dari mantan anggota batalion terus dalam keinginan mereka untuk bertempur, dengan sejumlah besar bergabung menjadi tentara revolusioner dan anti-revolusioner pada tahun-tahun selanjutnya.
Sumber: We Are The Mighty
Baca juga: