Turki bergerak ke arah timur dan mungkin menebarkan mimpi buruk tentang skenario keamanan untuk Eropa, Amerika Serikat dan NATO. Pertemuan antara presiden Erdogan dan Putin di St Petersburg pada hari Selasa 9 Agustus 2016 (waktu Rusia) disebut surat kabar Swedia Svenska Dagbladet sebagai pertemuan yang bersejarah.
Hubungan Rusia-Turki jelas memasuki tahap baru. Dinginnya dalam hubungan Rusia-Turki tampaknya secara bertahap digantikan dengan hubungan yang mencair. Presiden kedua negara sudah siap untuk melakukan pertemuan tatap muka.
“Ini akan menjadi kunjungan bersejarah, sebuah awal yang baru. Pembicaraan dengan teman saya Vladimir membuka halaman baru dalam hubungan bilateral kita,” kata Presiden Erdogan sebelum pertemuan dengan Putin.
Agenda pertemuan akan fokus pada upaya membangun kembali hubungan politik dan ekonomi, serta mencari solusi untuk krisis Suriah. Rusia bertekad untuk melanjutkan dukungan kepada Presiden Suriah yang dipilih secara demokratis. Hari ini, Erdogan tampaknya tidak lagi keberatan hal itu. “Tanpa partisipasi Rusia, mustahil untuk mencapai solusi di Suriah,” kata Erdogan.
Sebagai anggota NATO, pergerakan Turki ke arah timur, menekankan kepentingan bersama dengan Rusia. Bagi Barat dan NATO, ini mungkin jadi tekanan geopolitik ekstra.
Kolumnis surat kabar Swedia Svenska Dagbladet Jonas Gummesson menulis pemulihan hubungan Turki dengan Rusia dapat merusak persatuan NATO dan membatasi kemampuan pertahanan aliansi, yang pada gilirannya dapat mengganggu keamanan, kawasan Baltik, termasuk non-blok Swedia, yang merangkak naik menuju NATO.
Gummesson menekankan bahwa Turki, meskipun anggota NATO dan prospek untuk masuk jadi anggota Uni Eropa, sudah merupakan mitra dialog untuk Organisasi Kerjasama Shanghai yang dimotori Rusia dan China.
Mengingat perkembangan terakhir, ide ini mungkin tampak lebih memikat untuk Erdogan daripada keanggotaan Uni Eropa yang tidak jelas nasibnya.
Terakhir kali Turki Erdogan dan Rusia Putin bertemu dalam KTT G20 di Turki Antalya pada pertengahan November tahun lalu.
Hanya seminggu setelah itu sebuah bencana diplomatik terjadi ketika Turki menembak jatuh sebuah jet tempur Rusia di Suriah yang menghancurkan hubungan kedua negara.
Setelah kudeta militer pada pertengahan Juli, hubungan antara Turki dan Eropa serta Amerika Serikat memanas.
Gelombang penangkapan, tuduhan terbuka keterlibatan AS dalam kudeta dan pernyataan yang meragukan tentang hukuman mati telah semua memicu kecurigaan Barat terhadap niat dan ambisi presiden Turki.
Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa Uni Eropa tergantung pada Turki untuk menangani krisis pengungsi, sedangkan pesawat-pesawat tempur AS menggunakan pangkalan udara Turki dalam memerangi ISIS.