Hari itu 27 Oktober 1945, sehari menjelang peringatan 17 tahun Sumpah Pemuda, di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta terlihat sibuk. Para teknisi sedang berada di sekitar sebuah pesawat Cureng yang bertanda bulat Merah Putih, mempersiapkan segala sesuatunya untuk sebuah penerbangan yang direncanakan. Mereka menginginkan sebuah pesawat Merah Putih terbang hari itu, untuk membangkitkan Sumpah Pemuda.
Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Adi, adalah satu-satunya penerbang Indonesia yang berada di Pangkalan Maguwo. Hari itu, Pak Adi akan terbang bersama Cureng Merah Putih. Upaya itu membawa hasil.
Pak Adi membawa terbang Pesawat Cureng Merah Putih tersebut berputar-putar di Angkasa Pangkalan Maguwo disaksikan dengan rasa kagum oleh seluruh anggota pangkalan yang berada dibawah. Itulah awal mula sebuah pesawat Indonesia bertanda Merah Putih terbang di angkasa Indonesia yang merdeka.
Cureng merupakan nama lokal Indonesia. Pesawat ini aslinya buatan Nippon Hikoki KK tahun 1933 dan disebut sebagai Yokusuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan Amerika Serikat menyebutnya dengan “Willow”. Dalam Perang Pasifik, pesawat ini dijuluki dengan “Red Dragonfly” (Si Capung Merah).
Sejak berlangsungnya perang China-Jepang sampai tahun berakhirnya perang Pasifik telah diproduksi sebanyak 5.591 buah pesawat. Beberapa buah di antaranya digunakan untuk pasukan “kamikaze” meskipun sebenarnya pesawat ini dibuat untuk pesawat latih lanjut.
Cureng tergolong pesawat kecil bermesin tunggal bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan dua tempat duduk (depan belakang). Kopkit tanpa kanopi penutup atas sehingga bagian kepala dan dada penerbang kelihatan jelas dari luar. Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” dengan kekuatan 350 dayakuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/h dan kecepatan mendarat 92,6 km/h. Pencapai terbang sejauh 708 km dengan batas ketinggian 4000 m dengan lama terbang 4,5 jam.