Seorang jenderal penting Amerika, Kepala Staf Gabungan Jenderal Joseph Dunford, bergegas ke Turki untuk melakukan kunjungan mendadak setelah Presiden Erdogan langsung menuduh AS berada di balik upaya kudeta gagal di negara itu dan mulai melakukan pembersihan di militer Turki yang memiliki hubungan dengan Amerika Serikat.
Daily Sabah melaporkan, para pejabat Turki mengumumkan bahwa Jenderal Dunford akan mengunjungi negara itu pada 31 Juli 2016 setelah melakukan kontak telepon dengan timpalannya dari Turki Jenderal Hulusi Akar.
Pertikaian diplomatik antara Amerika Serikat dan Turki muncul setelah upaya kudeta untuk menggulingkan pemerintah Erdogan gagal. Situasi semakin memburuk ketika pada hari Jumat Ankara terus menegaskan bahwa pemerintahan Obama dan NATO berada di pusat plot kudeta.
Awalnya Ankara sekadar mengeluh dengan sikap pemerintahan Obama yang tidak mau mengestradiksi Fethullah Gulen yang disebut sebagai dalang kudeta. Sikap Gedung Putih itu akhirnya menyeretnya ke dalam teori konspirasi dengan menuduh Amerika Serikat secara aktif membantu kudeta.
Pada hari Jumat, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjadi berita utama dengan menuduh kepala Komando Sentral AS, “berpihak kepada komplotan kudeta,” dan menuntut bahwa jenderal bintang empat itu harus tahu diri.
Presiden Turki secara tersirat menyatakan Amerika Serikat memainkan peran langsung dalam kudeta yang gagal dengan menyindir, “orang saya tahu siapa di belakang skema ini mereka tahu siapa intelijen superior di balik itu, dan dengan pernyataan ini Anda segeralah mengungkapkan diri dan kami akan membiarkanmu pergi. ”
Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper mengakui bahwa pembersihan pasca-kudeta di Turki mengganggu misi NATO di Suriah karena sebagai jumlah sebagian besar yang dibersihkan bekerja dengan Amerika Serikat dalam memerangi ISIS.
Tuduhan bahwa Amerika Serikat adalah melindungi Fethullah Gulen, dan bahwa pasukan Amerika dan personel intelijen memainkan peran langsung dalam upaya kudeta 16 Juli diawali komentar Menteri Tenaga Kerja Turki, selama wawancara langsung dengan Haberturk, di mana ia menyatakan, “Amerika Serikat berada di belakang kudeta.”
Pernyataan itu dibantah Menteri Luar Negeri AS John Kerry, yang memperingatkan bahwa tuduhan itu akan membahayakan hubungan bilateral kedua negara.
Bukannya diam Turki makin berani. Dalam sambutannya Perdana Menteri Turki Binali Yildirim, memperingatkan bahwa Ankara siap untuk berperang dengan siapapun yang melindungi Gulen, komentar dirasakan sebagai referensi langsung ke AS.
Situasi semakin memburuk setelah pada hari Jumat menyusul pengajuan oleh jaksa Turki menuduh bahwa FBI dan CIA melatih dan melengkapi anggota yang disebut Organisasi Teror Gulenist (Feto), yang mengarah ke ledakan aktivitas di media sosial antara pembicara Turki menyerukan pelaksanaan ‘pengkhianat Amerika’ dan penutupan segera NATO Incirlik Air Base.
Banyak yang meramalkan bahwa hubungan AS-Turki dan NATO-Turki tidak dapat menahan gejolak dalam negeri tumbuh terhadap kehadiran militer Amerika di negara itu. Beberapa menanyakan apakah Erdogan telah membuka Kotak Pandora dengan menempatkan senjata nuklir Washington dan pasukan sekutu di garis api dari massa yang dikobarkan semangat nasionalismenya.
Baca juga: