Jika Amerika Serikat menyadari bahwa ada kelompok militer berencana untuk menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan, mereka tidak akan memberitahukan otoritas Turki karena Washington memang ingin kudeta berhasil.
Demikian disampaikan pakar studi strategis di LUISS Guido Carli Universitas Germano Dottori kepada RIA Novosti Minggu 24 Juli 2016.
“Pertanyaan utama tidak siapa di balik kudeta di Turki atau apakah Fethullah Gulen, yang tinggal di AS, terkait dengan itu. Apa yang kita perlu pahami adalah mengapa AS tidak mencegah kudeta dari mengambil tempat jika mereka menyadari bahwa beberapa di militer yang [berencana untuk menggulingkan Erdogan]? saya berpikir bahwa Amerika tidak mengganggu [kudeta] karena mereka berharap bahwa kudeta akan berhasil,”katanya.
Pada 16 Juli, sekelompok perwira militer tingkat menengah berusaha menggulingkan Erdogan, tapi gagal. Presiden Turki dan pendukungnya telah menyalahkan ulama Fethullah Gulen sebagai otak kudeta serta mendesak AS untuk mengekstradisi sosok yang telah tinggal di Pennsylvania sejak tahun 1999.
Dottori menyatakan bahwa reaksi Washington untuk kudeta sebagai bukti bahwa pemerintahan Obama ingin pemberontakan berhasil.
“Amerika diam sampai kemudian Menteri Luar Negeri John Kerry menyerukan ‘kontinuitas dalam Turki.” Dengan kata lain, mereka mengandalkan kudeta untuk sukses. Hanya empat jam kemudian Obama mendukung pemerintah yang terpilih secara demokratis. Kemudian [Sekretaris Jenderal NATO] Jens Stoltenberg menyatakan sentimen yang sama atas nama aliansi,” kata analis.
Baca juga:
Dottori menyarankan bahwa kebijakan luar negeri Turki baru-baru ini bisa menjadi alasan utama mengapa Washington ingin melihat wajah-wajah baru dalam kekuasaan.
“Saya berpikir bahwa itu terjadi terutama karena Amerika tidak senang dengan Turki yang memperbaiki hubungan dengan Rusia. Bagi saya, itu adalah satu-satunya cara yang bisa memicu keprihatinan pemerintahan Obama,” katanya.
Hubungan antara Moskow dan Ankara masuk ke kebekuan setelah Turki menembak jatuh sebuah pembom Rusia di perbatasan Suriah pada 24 November 2015. Baru-baru ini Erdogan meminta maaf kepada Presiden Vladimir Putin atas kejadian tersebut.
Baca juga:
Su-35 Rusia Vs F-16 Turki Vs F-22 Amerika, Lihat Perbandinganya