Pada bulan Juni 2016, China mengumumkan mereka siap untuk memberlakukan zona identifikasi pertahanan udara di Laut China Selatan, mirip dengan yang dilakukan di Laut China Timur hampir tiga tahun lalu.
Laporan sebelumnya menyebutkan pembom H-6K China juga sudah sudah berpatroli di kawasa tersebut. Seorang pakar militer mengatakan kepada Sputnik mengatakan keputusan pengadilan arbitrase bisa jadi alasan bagi China untuk segera bergerak mewujudkan keinginannya tersebut.
“Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag mendukung kasus Filipina yang menantang klaim Laut China Selatan China yang memaksa Beijing untuk mempersiapkan dialog dengan Manila,” kata Vasily Kashin, pakar militer dan peneliti senior di Institut Studi Timur Jauh kepada Sputnik Jumat 22 Juli 2016.
China bukan negara satu-satunya yang menolak mengakui keputusan pengadilan arbitrase, tambahnya. Namun, AS sedang mencoba untuk menggunakan ini untuk menambah tekanan lebih banyak pada Beijing.
Hal terakhir yang China ingin dalam situasi ini, ahli mengatakan, adalah untuk tidak tampak lemah. Dan tampaknya dari sudut pandang teknis, persiapan untuk menciptakan zona identifikasi pertahanan udara atau air defense identification zone (ADIZ) di Laut China Selatan telah lama selesai.
ADIZ didefinisikan secara terbuka adalah daerah di mana pesawat tak dikenal dapat diinterogasi atau dicegat sebelum memasuki wilayah udara sebuah negara. Hal itu bisa diumumkan sekarang, karena putusan pengadilan arbitrase baru-baru ini diprotes Beijing.
Patroli tempur udara biasa dari pembom jarak jauh berkemampuan nuklir H-6K akan menjadi pertunjukan kekuasaan besar.
Vasily Kashin mengingatkan bahwa zona identifikasi pertahanan udara China di Laut China Timur telah diabaikan oleh Jepang dan Amerika Serikat. Sejauh ini, belum menghasilkan insiden berbahaya, namun pesawat tempur sudah berada di risiko tabrakan di udara.
Mengingat ketegangan meningkat, seseorang tidak dapat mengesampingkan terulangnya insiden Hainan Island pada April 2001, ketika sebuah pesawat pengintai EP-3 Angkatan Laut AS bertabrakan dengan sebuah jet tempur J-8 China di wilayah udara 200 mil yang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) China
Tabrakan mengakibatkan jet China jatuh dan memaksa pesawat AS melakukan pendaratan darurat di wilayah China di pulau Hainan.
Setelah pembangunan pulau buatan dan pembukaan bandara baru di sana, China memiliki peluang tambahan untuk mengontrol wilayah udara di atas wilayah yang disengketakan.
Bandara di Woody Island (disebut Pulau Yongxing di China) di kepulauan Paracel Islands telah digunakan untuk penempatan jet tempur J-11.
China juga telah mengerahkan sistem rudal permukaan ke udara HQ-9 ke Woody Island, meski kabar terakhir sudah ditarik lagi. Sistem serupa juga dikerahkan di pulau Hainan.
Namun sistem yang dikerahkan jauh di Selatan di Kepulauan Spratly, yang terletak hampir 1.000 km dari Hainan, tidak akan ada gunanya jika terjadi konflik skala besar.
Pulau-pulau ini terlalu kecil untuk memberikan tempat tinggal dan perlindungan terhadap serangan udara dan rudal jelajah. Garnisun yang terletak di sana akan dalam bahaaya besar.
Tetapi di bawah kondisi ketegangan berkepanjangan yang tidak meningkat menjadi perang, jet tempur yang dikerahkan mungkin sangat bermanfaat dalam mengawal pesawat tempur dan pengintaian AS akan untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan China yang tegas menjaga posisinya.
Pada saat yang sama, katanya, sangat penting bagi Beijing tidak bermain berlebihan dengan Manila dan tidak mengganggu dialog antara kedua karena insiden militer, terutama sekarang, ketika masih ada kesempatan untuk kesepakatan dengan baru pemerintah di Filipina.