Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan Rusia tidak mempengaruhi Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa (EU). Dia membantah pernyataan Perdana Menteri Inggris David Cameron bahwa dirinya akan menyambut Brexit, yaitu keluarnya Inggris dari keanggotaan EU. Putin menganggap pernyataan tersebut tidak berdasar.
Ketika berbicaran kepada para wartawan pada kunjungannya ke Uzbekistan untuk menghadiri pertemuan puncak menyangkut keamanan, Putin juga mengatakan bahwa hasil referendum memperlihatkan bahwa Inggris tidak senang dengan kebijakan soal migrasi dan keamanan. Keluarnya Inggris juga menunjukkan negara itu tidak puas dengan birokrasi Uni Eropa.
Brexit akan berdampak positif dan negatif bagi Rusia dan dunia, kata Putin. Namun, tambahnya, kondisi itu akan membaik dengan sendirinya pada masa depan. Putin mengatakan Rusia akan menyesuaikan kebijakan ekonominya, jika diperlukan.
Sesaat setelah hasil referendum menunjukkan Inggris keluar dari Uni Eropa langsung berefek pada nilai mata uang Inggris turun hingga sembilan persen, menembus nilai terendah selama 30 tahun terakhir, yaitu di bawah 1,35 dolar Amerika Serikat.
Jatuhnya nilai tersebut dianggap lebih parah dibanding peristiwa “Rabu Hitam” pada 1992 saat George Soros, seorang investor, berperan penting menurunkan nilai pound hingga jatuh mendahului nilai Euro via Mekanisme Nilai Tukar.
Hasil tersebut dinilai akan mengguncang stabilitas UE serta berpotensi membangkitkan gerakan anti-UE di Eropa. Bahkan, proses pemisahan selama dua tahun nantinya akan memberi banyak ketidakpastian bagi perusahaan dan para penanam modal.
Sebelumnya, Cameron mendorong warga Inggris Raya agar tetap berada di UE. Ia mengingatkan, keluar UE akan berakibat buruk bagi perdagangan dan investasi, menyebabkan resesi, menjatuhkan nilai tukar pound, dan meningkatkan harga kebutuhan.
Akan tetapi, pendukung “Brexit” berdalih, keluar dari UE justru dapat menguatkan sektor perekonomian negara itu karena akan bebas dari aturan birokrasi Uni Eropa yang memberatkan.
Bahkan, keluar dari UE dianggap mampu memulihkan kembali kedaulatan Inggris Raya serta mengambil alih kontrol atas imigrasi.
Sebanyak 27 mitra Britania di UE tampak khawatir menunggu hasil referendum, mengingat dampak keluarnya negara kekuatan ekonomi besar kedua di blok tersebut akan melemahkan kesatuan Eropa serta berpengaruh pada stabilitas UE di tengah krisis keuangan Yunani dan arus besar kedatangan pengungsi.
Opsi “Brexit” dianggap sebagai hantaman keras bagi karier Cameron yang mengusulkan referendum dan mengajak warga Inggris Raya untuk pro-UE, dan menentang kelompok anti-UE yang dipimpin rivalnya dari Partai Konservatif.