Aliansi Atlantik Utara memandang senjata konvensional sebagai sarana yang layak untuk menangani serangan cyber ke jaringan dan sistem komunikasi. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan bahwa blok itu bisa menyebarkan senjata konvensional untuk menanggapi serangan cyber di masa depan.
Jaringan NATO telah jadi target serangan cyber hari, tapi ukurannya masih dianggap wajar. Tetapi jika ukuran serangan akan keamanan serius maka bisa memicu klausul pertahanan kolektif berdasarkan Pasal 5.
“Sebuah serangan cyber yang parah dapat diklasifikasikan sebagai kasus untuk aliansi. Kemudian NATO dapat dan harus bereaksi,” kata Stoltenberg kepada surat kabar Jerman Bild dan dikutip Reuters Rabu 15 Juni 2016. Pemimpin aliansi itu menegaskan respons ini akan tergantung pada tingkat keparahan serangan.
Stoltenberg tidak menyebutkan bagaimana aliansi memastikan asal serangan, yang merupakan tantangan utama ketika berhadapan dengan operasi canggih hacker yang mampu meluncurkan dan serangan dari seluruh dunia.
“Pertanyaan tentang bagaimana menanggapi serangan cyber merupakan salah satu hal yang paling sulit. Atribusi serangan sering bisa keruh, sehingga sangat sulit untuk membuktikan secara akurat sumber aslinya. Bahkan jika lokasi serangan diidentifikasi, negara dapat mengklaim bahwa serangan datang dari individu nakal dan bukan pemerintah, “kata pengamat Aaron Mehta.
NATO telah mengkonfirmasi bahwa mereka akan mengenali dunia maya sebagai domain operasional di KTT yang akan digelar di Warsawa Polandia dan akan berinvestasi untuk membangun pertahanan pada jaringan komputer mereka.
Perencana perang NATO percaya bahwa perang modern akan menjadikan cyberstrikes sebagai komponen utama dari setiap misi ofensif. Mereka juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai misi, termasuk mengganggu komunikasi, merusak infrastruktur kritis atau memperoleh informasi rahasia.