Rusia dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan perukaran informasi intelijen dan meningkatkan kontak antarlembaga penegak hukum.
“Kami juga tertarik dalam pembangunan dan pengembangan kerja sama lebih lanjut untuk mengatasi tantangan dan ancaman, terutama di bidang antiterorisme,” kata Presiden Indonesia Joko Widodo kepada wartawan setelah percakapan panjang dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Sochi, 19 Mei lalu.
Data spesifik milik Indonesia mana yang menarik perhatian intelijen Rusia masih diperdebatkan. Widodo, meski demikian, menyatakan dengan jelas bahwa kedua negara akan berkerja sama dalam memerangi terorisme.
Indonesia merupakan negara dengan popoulasi muslim terbesar di dunia dan kerap menjadi target serangan teroris. Tak banyak informasi terkait pergulatan tersebut, sehingga Rusia sangat tertarik mengorek data semacam itu dari Indonesia. Kualitas, reliabilitas, dan manfaat informasi tersebut akan ditaksir satu-persatu oleh pakar, yang akan membandingkannya dengan masukan dari sumber lain.
Anehnya, Indonesia merupakan negara pertama di wilayah tersebut yang menandatangani kesepakatan dengan Rusia. Bahkan Vietnam belum menandatangani kesepakatan intelijen dengan sekutu lamanya ini.
Alasan lain di balik penandatanganan kesepakatan adalah keinginan Indonesia untuk mendiversifikasi ikatan militer dan intelijennya dan perlahan mundur dari CIA dan lembaga intelijen Australia. Hal tersebut didorong oleh prinsip netralitas, yang dianut Indonesia dalam kebijakan luar negeri mereka.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, baik Moskow dan Indonesia harus mengambil pelajaran dari pengalaman buruk tahun 1960-an, ketika CIA mendapatkan akses informasi mengenai pengiriman senjata Soviet ke Indonesia.