Tidak salah jika menyebut Vladimir Putin saat ini telah menarik perhatian para pemimpin Timur Tengah meski fakta yang ada pasukan Rusia di wilayah ini jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan Amerika dan rekan-rekannya.
Hal ini sebagian besar karena Rusia sangat didukung persepsi bahwa Moskow bersedia untuk terlibat dalam konflik regional sementara Amerika justru mundur. Baru-baru ini, Rusia merayakan kemenangan dengan merebut kota kuno Palmyra dari ISIS. Meski sejumlah kabar juga meragukan prestasi militer Rusia di Palmyra.
Meskipun masa depan perang di Suriah tidak pasti, apa yang tersisa jelas adalah bahwa Rusia sedang berjuang dalam Perang Hybrid yang menggabungkan kemampuan militer, diplomatik dan media untuk mencapai tujuan dengan penggunaan senjata secara terbatas.
Harus diakui Rusia telah mengalami sejumlah keberhasilan di medan perang Suriah, namun kemenangan ini masih jauh untuk menempatkan Moskow sebagai broker kekuatan baru di wilayah tersebut. Prestasi Rusia di darat sangat bergantung terutama pada moral Tentara Suriah. Hal ini memungkinkan pasukan pro-rezim untuk bertempur lebih baik, sementara secara bersamaan juga meruntuhkan emangat para pemberontak. Dengan meluncurkan ribuan serangan udara, Rusia juga secara efektif berhasil menstabilkan rezim dari kehilangan wilayah dan membantu mendorong rezim Suriah untuk berjuang merebut Aleppo dan kota-kota sekitarnya pada akhir tahun.
Namun, ketika membandingkan peta dari situasi saat ini di Suriah dengan situasi di Suriah sebelum intervensi Rusia, keuntungan teritorial Assad dengan dukungan Moskow belumlah begitu berubah banyak. Juga, intervensi belum mengakhiri kemunduran rezim. Pada minggu-minggu pertama Mei 2016, pasukan rezim kehilangan lapangan gas Shaer yang direbut ISIS dan kota strategis Khan Touman yang diambilalih Jabhat al-Nusra. Sampai saat ini Suriah dengan bantuan Rusia juga belum berhasil mengambil alih Kota Aleppo bahkan korban sipik terus berjatuhan. Beberapa waktu lalu sebuah rumah sakit di kota ini dibom dari udara mengakibatkan puluhan orang tewas.
Di bidang diplomatik, Rusia dipandang sebagai promotor dari negosiasi politik antara rezim dan pemberontak, dan sebagai pendukung dari gencatan senjata antara kedua pihak. Namun upaya ini tidak menghasilkan proses perdamaian yang layak dan menghasilkan gencatan senjata yang tidak stabil.
Palmyra adalah contoh utama dari modus operandi Moskow di Suriah, di mana keberhasilan di medan perang, tidak peduli seberapa marjinal atau dipertanyakan, menjadi alasan untuk mempromosikan citra sukses Rusia. Damaskus dan Moskow menyoroti peran Rusia dalam kampanye: Presiden Bashar al-Assad mengatakan bahwa dukungan udara Rusia adalah “penting”. Sementara juru bicara Kremlin mengatakan bahwa mendapatkan kembali Palmyra tidak mungkin tanpa dukungan Rusia.
Namun, kabar baru yang dirilis Sky News menunjukkan bahwa penaklukan Assad atas Palmyra mungkin lebih merupakan tindakan kolusi dari penaklukan. Pembelot ISIS mengklaim bahwa Palmyra sebenarnya memang diserahkan kembali ke pasukan pemerintah kepada ISIS sebagai bagian dari perjanjian kerjasama. Meskipun tidak terkonfirmasi, klaim ini bisa dipercaya, mengingat sejarah panjang rezim Suriah sebenarnya memiliki sejarah panjang berhubungan dengan kelompok garis keras saat memerangi pendudukan AS di Irak termasuk dengan melepaskan sejumlah tokoh radikal dari penjara Sednaya pada 2011, dan perdagangan minyak antara ISIS dan rezim senilai hingga US$40 juta per bulan. Klaim seperti ini bisa menghancurkan bagi Rusia yang selama ini telah menyatakan keberhasilan besar di Suriah.
Namun laporan ini tidak mempengaruhi persepsi umum tentang pertempuran Palmyra. Teknik konstruksi narasi Rusia dan kontrol melalui media internasional memungkinkan untuk mengabaikan tuduhan. Sebaliknya, Rusia merayakan kemenangannya dengan menggelar Mariinsky Orchestra di teater Romawi Palmyra. Konser ini penuh simboli yang dilakukan oleh konduktor terkenal Rusia Valery Gergiev dengan menampilkan teman dekat Putin, pemain cello Sergei Roldugin dan didedikasikan untuk arkeolog Khalid al-Asaad, yang dibunuh karena menolak untuk menunjukkan tempat tersembunyi yang menyimpan barang antik di kota terserbut.
Putin muncul di link video untuk menyapa penonton, termasuk orang-orang Rusia dan militer Suriah, sejumlah warga sipil Suriah, dan wartawan Barat. Pesannya jelas: bahwa ini buah keberanian Rusia dalam melindungi peradaban Barat.
Kemampuan untuk berhasil mengobarkan perang hybrid ini sebagian disebabkan oleh keputusan Rusia untuk beroperasi di daerah keuntungan relatif, seperti Suriah. Arena ini, dianggap presiden AS sebagai teater yang tidak dapat dimenangkan hingga keberhasilan marjinal bisa mengumpulkan banyak kekaguman. Ditambah dengan kampanye media terkoordinasi dengan baik, Rusia telah memenangkan perang hibrid di Suriah
Tulisan ini diambil dari artikel Ari Heistein, Special Assistant Director of the Institute for National Security Studies di Israel dan Vera Michlin-Shapir seorang Neubauer Research Associate di Institution for National Security Studies in Israel di National Interest Kamis 19 Mei 2016