Jepang merasa telah terkunci di tengah lingkungan keamanan yang meresahkan. Kemampuan yang terus tumbuh dari militer China dan Rusia di mana Jepang memiliki sengketa wilayah dengan kedua negara ini.
Di Semenanjung Korea, rezim tidak menentu Kim Jong-un terus mengancam tetangganya dengan retorika dan tes rudal provokatif
Menyadari masalah ini, pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe telah dilakukan kombinasi kebijakan dan anggaran untuk memberikan yang lebih baik dalam membangun pertahanan Jepang, memperkuat hubungan keamanan bilateral Jepang-AS, dan memfasilitasi peran yang lebih aktif dalam keamanan regional.
Pedoman pertahanan baru memperkenalkan konsep modifikasi dari kolektif membela diri dan menyediakan satu kondisi dasar dimana Angkatan Bela Diri Jepang (SDF) dapat berkontribusi untuk operasi militer sekutu di masa depan.
Sebuah elemen kunci dari kebijakan diperbarui adalah penghapusan kendala geografis yang sebelumnya mengikat gerak SDF. Dengan peningkatan pendanaan, Jepang juga mengembangkan kemampuan operasional di luar kekuatan defensive yang selama ini menjadi pusat strategi. Hal ini terlihat dengan pembentukan pasukan serbu amfibi dan membeli pesawat canggih seperti F-35 Joint Strike Fighter dan MV-22 Osprey.
Tapi Jepang masih kekurangan elemen kunci dari kekuatan militer yang relevan di tengah ancaman tinggi yakni rudal jarak jauh.
Rudal Tomahawk telah lama menjadi andalan serangan presisi jarak jauh Amerika. Sebuah senjata berbasis laut dengan kisaran 1.000 mil dan 1.000 pon hulu ledak. Rudal ini terbukti menjadi senjata yang cukup baik untuk menghancurkan target darat bernilai tinggi, termasuk kemampuan untuk memukul kapal, memastikan rudal ini masih akan relevan untuk operasi di dekade berikutnya.
Amerika tidak terikat larangan untuk menjual rudal ini ke sekutunya. Washington pada 20 tahun lalu telah menjual 65 rudal ini ke Inggris. Dan mungkin Jepang juga bisa menjadi negara lain yang memiliki rudal legendaris ini.