Tulisan ini tidak untuk menjadikan memanaskan suasana, tetapi mencoba mengajak semua orang untuk berpikir secara jernih tentang apa yang terjadi di sekitar kita.
Dalam berapa waktu terakhir sejumlah petinggi TNI mengatakan tentang potensi dan bahaya proxy war di Indonesia. Benarkah strategi perang ini tengah mengerumuni negeri ini?
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengakui Indonesia tengah mewaspadai penyebaran Proxy War. Salah satu jenis peperangan ini masuk ke kategori perang yang mematikan. “Saat ini sudah terasa yakni adanya Proxy War sudah mulai kita waspadai karena sudah menyusup ke sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan berkeluargam” katanya Kamis 28 April 2016 lalu.
Ucapan seorang petinggi TNI tentang proxy war jelas bukan sebuah lelucon. Mana ada militer melucu? Jika ada sebagian pihak mengatakan bahwa pernyataan TNI itu terlalu mengada-ada dan hanya bentuk paranoid dari militer, juga bukan hal yang bijaksana. Karena proxy war telah merambah di berbagai penjuru bumi dan terbukti efektif dalam menghancurkan sebuah negara.
Apa yang terjadi di Libya, Mesir, Irak, Suriah dan Yaman adalah sesuatu yang kasat mata dari proxy war. Apa yang terjadi di Ukraina juga hasil dari sebuah perang hybrid. Jadi bukan hal mengada-ada jika itu juga terjadi di Indonesia, sebuah negara dengan kekayaan alam besar, posisi geografis strategis. Banyak kekuatan yang mengincar negara ini.
Proxy war secara gampang adalah perang dengan melibatkan boneka. Pemilik kepentingan utama tidak terjun langsung ke sebuah negara untuk membuat kekacauan, tetapi cukup menggunakan elemen-elemen yang ada di negara itu sendiri. Elemen-elemen ini akan menjadi martir untuk konflik awal, dan ketika sudah benar-benar pecah konflik dalam skala besar, pemilik kepentingan tidak akan peduli siapa yang menang dan siapa yang kalah. Karena tujuan utamanya adalah negara kacau dan dia bisa dengan mudah melakukan intervensi.
Jika mencermati pernyataan TNI sebenarnya gampang untuk menebak arah dari proxy war ini. Tidak perlu memiliki ilmu intelijen tinggi selama kita bijaksana menyimak apa yang ada di sekitar kita, maka terbaca jelas strategi yang digunakan dalam proxy war di Indonesia.
Strategi utamanya adalah bagaimana memancing kelompok mayoritas di negara ini untuk bereaksi. Siapa kelompok mayoritas itu? Jelas Islam. Caranya? Gampang, dengan memunculkan gerakan yang membawa isu-isu yang sangat tidak disuka oleh kelompok ini.
Gerakan kebangkitan komunis, adalah isu yang suka atau tidak suka muncul sekarang ini. Dengan dalih kebebasan, beberapa kelompok mengangkat isu ini dengan fokus pada mengungkap sejarah pembantaian pasca pemberontakan PKI 1966. Dasarnya adalah hak asasi manusia. Jelas isu yang sangat sensitive bagi orang-orang Islam, karena Islam khususnya di Indonesia memiliki sejarah tidak baik dengan PKI.
Isu ini akan sangat efektif untuk memantik api konflik. Terbukti beberapa riak sudah terjadi di banyak tempat dengan penggrebekan dan pembubaran pertemuan-pertemuan yang dikaitkan dengan hal itu.
Para aktivis kemanusiaan dan HAM ini memang akan menghadapi dua pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Pertama, kenapa hanya kasus 66 yang diungkit-ungkit tanpa henti? Padahal jika mau fair banyak kasus serupa di Indonesia. Kematian ribuan orang Aceh saat DOM, kasus Talangsari, Kasus Tanjung Priok dan sebagainya, kenapa tidak pernah disentuh? Jawaban paling gampang karena kasus itu tidak seksi untuk memancing emosi orang Islam.
Pertanyaan kedua kenapa aktivis ini hanya bicara pasca pemberontakan PKI? Kenapa tutup mata pada apa yang dilakukan PKI sebelum itu? Jika fair tentu mereka juga mengungkap apa yang terjadi di seputaran waktu itu. Mencoba bertanya pada para kyai di daerah Tapalkuda untuk mendapat gambaran sepenuhnya.
Tetapi dua hal itu tidak pernah dilakukan hingga memunculkan kemarahan kelompok Islam. Langkah pertama proxy war telah sukses dengan isu ini.
Isu yang kedua adalah gerakan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT). Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu sebagiamana dikutip Antara pada Februari 2016 lalu menilai fenomena kemunculan LGBT di Indonesia adalah bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer.
Menurut dia, ancaman perang proksi itu berbahaya bagi Indonesia karena negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung berhadapan. Oleh karena itu, fenomena pendukung LGBT yang meminta komunitasnya dilegalkan itu wajib diwaspadai.
Jika cermat melihat, sebenarnya aktivis yang membawa dua isu ini juga berasal dari hal yang sama. Lagi-lagi, isu ini sangat sensitive bagi Islam. Beberapa kali juga telah terjadi percikan kasus ini.
Sebenarnya ada satu isu lagi yakni pendirian negara Islam. Tetapi isu ini sendiri masih lebih banyak ditolak oleh sebagian besar orang Islam di Indonesia.
Dua isu (komunis dan LGBT) ini yang paling efektif karena secara total orang Islam akan menolakanya sehingga emosi justru lebih akan gampang dipicu. Kedua isu akan terus bergulir tetapi karena kekuatan masih terbatas kemungkinan tidak akan muncul secara bersamaan, tetapi akan saling isi. Mereka akan terus berusaha memancing emosi. Sampai kapan? Sampai terjadi saling bunuh. Dan pada saat itu, situasi akan semakin sulit diatasi serta dicari siapa yang benar dan siapa yang salah. Chaos di depan mata. Kekacauan di Suriah adalah contoh betapa sulitnya untuk menyelesaikan perang karena proxy war. Semua merasa benar, padahal semuanya salah.
Masalahnya, banyak dari martir perang proksi tidak sadar bahwa mereka bagian dari scenario. Mereka hanya merasa meyakini sebuah nilai yang dianggap benar. Ada semacam cuci otak yang tidak disadari oleh mereka.
Menhan menjelaskan, perang proksi itu sangat menakutkan lantaran musuh tidak diketahui. Kalau melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan.
“Kalau perang proksi, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang modern semua hancur. Itu bahaya,” paparnya.
Ia menambahkan, perang modern tidak lagi melalui senjata, melainkan menggunakan pemikiran. “Tidak berbahaya perang alutsista, tetapi yang berbahaya cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap ideologi negara,” tuturnya.
Sayang apa yang dikatakan oleh Mantan KASAD ini kerap dituding sebagai upaya militer untuk melakukan tindakan represif. Padahal hampir semua negara telah mewaspadai bahaya ini. Ada juga yang mengatakan proxy war adalah isu tanpa bukti. Padahal jika ada bukti, proxy war berarti sudah dimasukkan dalam status gagal dan dibatalkan. Tidak mungkin ada bukti proxy war. Ini adalah perang siluman.
Akhirnya sungguh, ancaman proxy war sudah ada di depan mata. Waspadalah dan tetap teguh menjaga Indonesia.