Di fasilitas produksi yang ada di Fort Worth Texas sebuah F-16 bergulir keluar. Pesawat yang dibangun untuk Angkatan Udara Irak ini jauh lebih canggih dibandingkan Falcon yang keluar dari fasilitas yang sama 40 tahun lalu, tetapi bisa jadi dia juga menjadi bagian dari F-16 terakhir yang terlahir.
Pada jarak sekitar 575 mil ke timur laut kondisi tidak jauh berbeda terjadi. Jet tempur F-15 Eagle dan F / A-18 Super Hornet, dua pesawat yang pertama diproduksi tahun 1970-an telah menjalani desain ulang dan modernisasi berat selama beberapa dekade.
Tanpa adanya pesanan baru dalam jumlah yang banyak dari militer Amerika atau negara-negara sekutu lainnya, tiga pesawat yang telah memberi Amerika supremasi udara selama lebih dari empat dekade ini akan menghentikan produksinya tahun 2020.
Lockheed dan Boeing, perusahaan yang membangun pesawat tempur tersebut, secara aktif terus mencari pelanggan baru untuk jet tempur tersebut. Tetapi mereka dalam kondisi yang sama-sama sulit.
Lockheed telah meningkatkan produksi F-35 Joint Strike Fighter hingga empat kali lipat untuk melayani pembelian dari Amerika dan sekutunya selama 30 tahun ke depan. Lebih dari 3.000 pesawat direncanakan akan dibangun dengan, hampir 2.500 diperuntukkan bagi Angkatan Udara di luar AS, US Navy, dan Korps Marinir.

Untuk Boeing, situasinya lebih gawat. Akhir produksi dari F-15 dan F / A-18 berarti perusahaan itu tidak lagi memiliki lini produksi jet tempur dan meninggalkan Lockheed sebagai satu-satunya pemain di wilayah tersebut. Satu hal sama yang masih akan mereka jalani adalah bisnis untuk merawat dan mengupgrade ribuan F-16, F-15 dan F/A-18 yang tersebar di berbagai penjuru bumi.
Sembari mencari pelanggan baru, Boeing telah memperlambat produksi Super Hornet hanya menjadi dua pesawat per buland engan harapan bisa memperpanjang garis produksinya hingga 2020. Kongres Amerika sudah memutuskan untuk membeli dalam jumlah yang lebih banyak F / A-18 dan EA-18G Growlers, versi serangan elektronik dari Super Hornet. “Tanpa pesanan lebih Super Hornet dan produksi Growler akan berakhir pada tahun 2018,” kata Dan Gillian, Wakil Presiden Boeing yang mengawasi bisnis dua jet tempur tersebut sebagaimana dikutip Defense One Kamis 12 Mei 2016.
Angkatan Laut AS mengatakan membutukan sekitar 30 Super H ornet baru, tetapi hanya bisa mendanai dua pesawat dalam anggaran Pentagon 2017. Mereka telah memasukkan daftar 14 pesawat sebagai “prioritas didanai” dan uang akan akan diupayakan dalam anggaran pembelian 14 pesawat pada 2018.
Boeing juga masih menunggu pemerintah Obama untuk menyetujui penjualan 28 Super Hornet ke Kuwait.
“Kuwait adalah jembatan kunci untuk mendapatkan produksi dari [fiskal] 2017 hingga [fiskal] 2018,” kata Gillian. “Kami bekerja keras dengan Angkatan Laut AS untuk membuat semua ini bisa dilakukan.”
Byron Callan, analis Capital Alpha Partners, dalam sebuah catatan baru menyebut jika penjualan ke Kuwait berjalan maka akan lebih banyak penjualan internasional yang bisa dibuka dengan Kanada sebagai peluang terbesar.
Sementara menurut Gillian Belgia, Denmark, Finlandia, Spanyol, dan India sebagai pelanggan potensial Super Hornet. Perusahaan ini juga mendorong Angkatan Laut AS untuk membeli sebanyak 100 Super Hornets dan Growlers tambahan untuk memenuhi kebutuhan di masa depan.
Super Hornets, dan pendahulunya, Hornet telah banyak digunakan di seluruh kampanye AS termasuk melawan ISIS di Irak dan Suriah. Angkatan Laut Amerika berencana masih akan menerbangkan pesawat ini hingga 2030 yang berarti hampir 568 jet perlu upgrade untuk memungkinkan mereka untuk terbang hingga 9.000 jam. Tanpa upgrade pesawat hanya bisa terbang selama 6.000 jam.
“Kami sedang bekerja pada kapasitas dan kemampuan untuk memastikan bahwa pesawat berevolusi untuk memenuhi ancaman di 20-an dan 30-an,” kata Gillian.
Perusahaan juga menawarkan ke Angkatan Laut upgrade tambahan, termasuk kokpit dan hingga tangki bahan bakar konformal khusus yang akan menjadikan jet tempur lebih mampu terbang tinggi dan jauh.
Boeing masih memiliki pesanan F-15 untuk Saudi hingga 2019. Qatar juga telah meminta untuk membeli F-15, tetapi pemerintahan Obama belum menyetujui kesepakatan tersebut. Keberatan Israel dilaporkan sebagia ganjalan yang menjadikan izin dari Washington tidak segera turun.