Site icon

Ingat, Tembok Berlin Tidak Runtuh oleh Peluru

Jika kita mau membuka lembaran Babad Giyanti. Tatkala Pangeran Mangkubumi sebelum menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I dan tengah bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran, pernah berujar secara bersahaja:”Satuhune Sri Narapati Mangunahya Brangti Wijayanti.”

Ucapan itu menunjukkan keprihatinan dia bahwa kultur Barat sebagai akses gencarnya politik kolinialisme Belanda kala itu telah mencekik hingga membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan lemah lunglai tanpa daya.

Keadaan ini harus dihadapi dengan ”wijayanti” untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkannya: ”Purwane sung awerdi gagat-gagat wijayanti,” untuk menjadi pemenang, seorang raja haruslah meneladani sikap tulus tanpa pamrih agar bisa menyambut cerahnya hari esok yang laksana biru nirmala.

Ungkapan ini rasanya amat relevan dengan keadaan sekarang ini karena ada paralelisme histori di saat kita menghadapi hantaman derasanya arus globalisasi yang mengharuskan kita untuk tidak hanya berpangku tangan. Tetapi harus bersiap diri untuk lebih meningkatkan kualtias dalam segala aspek kehidupan. Harus eling lan waspada menghadapi berbagai godaan dan cobaan di zaman Kalatidha ini. Di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang serba tida-tida-penuh waswas, keraguan dan ketidakpastian.

Jangan bermimpi dan berkhayal bahwa Pancasila dapat bertindak sebagai tameng sakti yang akan menghalau badai globalisasi itu kecuali ada ikthiar, kerja keras, usaha bersama dan didahului oleh penalaran yang jernih.

Salah satu hal yang penting untuk menghadapi hal ini adalah  bagaimana memperkuat budaya diri sendiri. Persoalannya, era Orde Baru telah mewariskan sejumlah kecenderungan sikap budaya. Salah satunya adalah materialistik formalistik. Orang lebih menghargai wujud kebendaan yang kasat mata dan yang dapat di-kerta aji secarakuantitatif. Oran glebih menunjukkan kepuasan jika dihadapkan pada barang yang berwujud materiil yang bersifat lahiriah seperti tertera dalam angka dan statistik. Diucapkan dalam pidato divisualisasikan dalam gemerlapnya rupa yang kosmetik dan sebagainya.

Selain itu sikap budaya yang lain adalah manipulasi terutama melalui iklan pada media elektronik yang sedemikian dahsyatnya dan telah memasuki pintu-pintu rumah kita sampai ke pelosok-pelosok desa. Tingginya teknologi komunikasi sering digunakan untuk memainkan minat, hasrat, ambisi dan nafsu bawah sadar manusia yang berdampak menyebarnya budaya konsumerisme. Maka banjirlah barang-barang luks dan instan yang bukan kebuptuhan pokok masyarakat ke segenap sudut kota, kampung dan desa. Akhirnya masyarakat menjadi objek manipulasi iklan dan progpaganda massal.

Iklan seperti ”Majulah bersama bir, Rokok yang bergengsi masa kini, obat yang menyehatkan bangsa, Minuman yang mencerdaskan bangsa” dan semacamnya merupakan sedikit contoh yang bertendensi manipulaitf.

Manipulasi juga terjadi dalam mengubah persepsi masyarakat. Cerita film, telenovela impor dan sinetron domesktik berungkali menyuguhkan adegan kekerasan yang brutal dan asis, bukan menjadi media edukasi tetapi membentuk persepsi dan imajinasi masyarakat ke  arah perilaku negatif dan cenderung meniru tindakkekerasan yang serupa.

Bertolak dari kecenderungan itu, adalah tepat jika segenap potensi masyarakat menumbuhkan rasa harga diri dan kemandirian bangsa sehingga tidak terombang-ambing oleh budaya konsumerisme yang berskala global dan informasi yang cenderung menyesatkan.

Globalisasi akan terus menghantam kita. Mau tidak mau Indonesia harus memberikan respons, berpikir, berikhtiar, menyusun taktik dan strategi menghadapi badai globalisasi itu. Hal ini sangat pelik dan rumit karena baik meriam, rudal maupun bom nuklir tidak dapat menahannya.

Ingat, Tembok Berlin runtuh menjadi debu bukan oleh peluru dan kekuatan manusia tetapi oleh informasi. Karena informasi itu menembus dinding. Dia juga mengubah cara hidup manusia. Informasi harus dilawan dengan informasi, inovasi kebudayaan dengan inovasi kebudayaan. Tidak semua yang dari luar itu tidak bagus dan tidak berguna. Tetapi jangan sampai gelombang informasi dan budaya dari luar membunuh budaya sendiri, dan jika seperti itu maka bukan sebuah mimpi jika Indonesia akan mengalami nasib seperti Tembok Berlin, runtuh. (az@jejaktapak.com)

Exit mobile version