Site icon

Masa Harus Menipu Jutaan Orang?

Pertengahan April 2016, seorang teman memberikan ke saya semacam company profile yang berisi tentang kesuksesan orang/lembaga mengantarkan seseorang menduduki jabatan penting melalui kampanye di media sosial. Sebenarnya, sudah bukan rahasia lagi kampanye model ini dilakukan, tetapi kejadian itu menjadikan saya punya kesempatan untuk berbicara dan berinteraksi langsung dengan orang yang terlibat semacam itu.

Teman ini memberikan company profile tersebut agar diberikan kepada seseorang yang konon hendak maju dalam pemilihan kepala daerah. Disebutkan dalam ‘proposal’ itu nama-nama orang yang sukses dibantu. Tidak main-main, nama-nama itu semuanya tokoh penting di negara ini. Bahkan ada tokoh internasional.

“Masa kita akan menipu jutaan orang dengan cara semacam ini?” goda saya ke teman tersebut.

“Maksudnya?” tanyanya.

“Ya, kan  ini berarti membentuk citra orang lewat media sosial. Kadang kualitas orangnya tidak jelas tetapi karena dibentuk secara masif melalui media sosial akhirnya menjadi heboh dan dengan alasan itu orang memilih dia jadi pemimpin. Masa begitu?” kata saya.

“Ini bukan menipu, tetapi mempengaruhi,” jawabnya yang saya sanggah “Ah 11-12 menipu dan mempengaruhi. Setan itu tugasnya juga mempengaruhi,” kata saya.

“Berapa biaya untuk kampanye model ini?” tanya saya lagi yang dijawab teman saya tergantung pada paket apa yang mau diambil. “Kalau orang ini habis berapa?” tanya saya menunjuk salah satu klien yang sekarang memang sukses menduduki jabatan politik penting. “Ya, sekitar Rp2 miliar. Tetapi itu komplet,” jawabnya.

“Rp2 miliar!!!!???!” saya bener-bener kaget. Ini baru kampanye via medsos, belum biaya yang lain. Dalam pikiran saya, berapa penghasilan dia selama lima tahun menduduki jabatan ini? Apa sepadan?

Mari berandai-andai, gaji per bulannya adalah Rp50 juta. Maka dalam satu tahun dia akan mendapatkan Rp600 juta. Maka dalam lima tahun total gajinya Rp3 miliar. Kalau dikurangi biaya kampanye medsos saja tinggal Rp1 miliar yang berarti dalam Rp16 juta per bulan. Cukup untuk seorang pejabat? Tidak mungkin! belum lagi kalau dia harus mengembalikan biaya kampanye di luar medsos yang pasti jauh lebih banyak? Lalu dari mana dia dapat uang untuk mengembalikan dana  itu? Atau untuk pengabdian? Saya kok tidak yakin. Karena sejauh ini juga saya lihat orang itu santai-santai saja di jabatannya. Jadi bagaimana? Silahkan pikir sendiri kelanjutannya.

Pertanyaannya bagaimana kampanye via medsos ini dijalankan? Banyak, salah satu cara, menurut teman tadi adalah menjadikan sosok ini sebagai isu besar di medsos. Setelah itu bisa dilakukan maka media ekstrem akan mengekor. Kebiasaan (untuk tidak menyebut kebodohan) media sekarang adalah mengekor apa yang ada di medsos. Apa yang dianggap benar oleh Medsos maka itu dianggap sebagai kebenaran nyata. Lupa, bahwa di medsos banyak pasukan jin yang gak karu-karuan bentuknya.

“Lihat saja media sekarang ini, apa yang ada di medsos jadi acuan. Ojek online misalnya, mau diambil dari sudut pandang mana saja itu memang salah, tidak ada aturan hukumnya. Tetapi karena di medsos orang-orang membelanya, maka media ikut membelanya. Padahal jelas-jelas salah,” katanya.

Nah itu yang saya maksud. Dengan kampanye model seperti ini, yang salah bisa jadi benar. Dan sebaliknya.

Melalui medsos, sosok ini akan terus dipublikasikan dan disebarluaskan dengan sangat masif dan luar biasa untuk mendukung citra yang diinginkan masyarakat. Kalau masyarakat ingin pemimpin yang sederhana, lugu dan sebagainya, ya gimana caranya hal-hal yang menggambarkan citra itu dibangun. Dari cara bicara sampai di mana dia makan, beli baju, sepatu, segalanya di eksplorasi. Sampai akhirnya, orang percaya dia benar-benar orang miskin dan lugu. Apa benar seperti itu? Ya belum tentu. Dan faktanya memang tidak. Enggak mungkin dia miskin dan lugu. Dan yang pasti, kualitas dia sebagai seorang pemimpin tidak lagi peduli. Yang penting lugu dan sederhana. Titik! Maka jadilah!

Atau seseorang digambarkan sebagai sosok  yang tegas, galak, blak-blakan, berani. Semua bisa dibentuk lewat facebook. Bahkan ketika orang itu mencaci dan memaki, yang secara moral adalah salah, bisa jadi benar. Maka jadilah!

Kita ini sudah sering salah memilih pemimpin hanya karena melihat penampilan. Para elite ini ini lebih mementingkan citra diri untuk membangun identitas pribadi tertentu, meski itu pun semu. Dalam politik itu sering disebut the art of politics, politik pencitraan atau imagologi politics yang kini menjadi tren dan laku dijual.

Menjaga citra ini sejalan dengan budaya Jawa yang disebut “jaga praja” yang biasanya memberi kesan “Lebih besar pasak daripada tiang”. Karena orang akhirnya harus berjuang sekuat tenaga dan semahal apapun untuk menjaga citra itu sendiri. Yang muncul dalam masyarakat kontemporer saat ini adalah kumpulan manusia-manusia hipokrit “bertopeng” yang sejatinya bertentangan dengan hakikat manusia seutuhnya. Apa yang tampil dan ditampilkan bukan siapa dia sesungguhnya.

Di Indonesia, pemasaran politik adalah bidang yang semakin marak bahkan saya melihat sudah benar-benar gila. Unik tetapi bisa jadi juga menyesatkan. Karena sangat mungkin terjadi yang dipasarkan adalah produk polesan. Bahkan bisa jadi yang dipasarkan bisa saja barang busuk atau unsought goods. Layaknya pembalikan pepatah Jawa “wingka katon kencana”.

Citra diri adalah ”panggung depan” seseorang. Sisi kehidupan yang tampak atau lebih tepatnya sengaja ditampakkan. Sebagai panggung depan, maka yang ditampakkan adalah sisi-sisi kehidupan yang serba baik saja. Sementara sisi-sisi yang tidak baik meski itu sebagai sebuah kenyataan selalu diusahakan sekuat tenaga untuk ditutup-tutupi.

Hal inilah yang harus disadari oleh masyarakat agar tidak terjebak pada pencitraan seseorang. Jangan mudah percaya dengan apa yang dilihat. Kita semua harus bisa jeli dan teliti

“Ini kan dosa, masa membuat orang yang sebenarnya tidak layak memimpin terus terpilih gara-gara facebook,” kata saya. “Coba, orang ini [nama lain yang ada di proposal itu] terpilih jadi pemimpin, menurutmu apa memang layak dia?” tanya saya yang dijawab teman saya hanya dengan “he he he..”

Tetapi akhirnya perdebatan kami berhenti setelah dia berkata begini “Hey, apa kamu tidak bosan miskin? Saya sudah bosan! Jangan apa-apa dipikir. Gak bakalan berubah nasibmu,” katanya.

“Bener-bener gojek kere,” batin saya. (az@jejaktapak.com)

 

 

Exit mobile version