More

    Tamparan Keras Pebi dan Wempi

    on

    |

    views

    and

    comments

    Pada Maret 2016 lalu ada seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja magang menjadi wartawan di media tempat saya bekerja. Dia berasal dari Pegunungan Bintang Papua. Sejujurnya saya tidak tahu nama aslinya, karena sangat sulit untuk diingat bagi saya. “Panggil saja saya Pebi Pak,” kata dia yang tahu kalau namanya memang agak-agak rumit untuk orang Jawa. “Pebi?” tanya saya. “Ya, Pebi, Pegunungan Bintang,” katanya sambil tertawa. Dan sejak itu saya dan juga teman-teman di kantor memanggilnya Pebi.

    Pada suatu kesempatan dia bercerita tentang susahnya menjadi orang Papua. Dia sendiri sudah 13 tahun tidak ketemu ibunya dan tidak pulang ke kampung halaman, karena tidak punya uang. Sejak SMP dia sudah merantau ke Jayapura untuk bekerja sambil sekolah. Dengan beasiswa dari Pemkab Pegunungan Bintang dia akhirnya bisa kuliah di Jogja. “Sekarang perbulan dapat Rp1 jutaan dari Pemkab. Sebelumnya Rp800an,” katanya. Jumlah  yang sebenarny tidak cukup untuk hidup dan kuliah di Jogja. Karena sekarang Jogja dengan kota lain sama saja, biaya hidup tinggi. Akhirnya dia pun bekerja apa saja untuk bisa mendapatkan uang.

    Dia juga bercerita bagiamana kondisi kampung halamannya dan perjuangan untuk bersekolah yang seperti menampar wajah saya. Menurutnya, waktu SD kalau pergi ke sekolah menyeberang sungai dengan berenang adalah hal yang wajib dilakukan. “Di Jawa, jembatan rusak saja orang pada mengeluh luar biasa,” batin saya.

    Pebi juga bercerita bagaimana ketika hendak ikut ujian nasional SD dia harus berjalan dua hari dua malam untuk mencapai sekolah di kota. Dia harus tidur di tengah jalan untuk bisa mencapai titik itu. “Saya bawa pisang satu tandan untuk bekal.” lanjutnya.

    Ini yang membuat saya merasa tertampar. Selama ini kita di Jawa, kerap ribut soal hal-hal kecil. “Internet lemot saja kita galau, jalan rusak sedikit marah-marah, soal  ujian salah atau terlambat pada protes keras dan sebagainya”

    Masih pada Maret, tepatnya tanggal 31 Maret 2016 saya juga bertemu orang Papua. Tetapi dengan tingkat yang berbeda. Saya bertemu dengan John Wempi Wetipo. Kenapa saya sebut berbeda? karena jika Pebi adalah mahasiswa yang harus berjuang keras untuk bisa kuliah, Wempi ini adalah Bupati Jayawijaya, Papua. Tetapi ujungnya sama juga, yang dia ceritakan juga bagaimana sengsaranya Papua jika dibandingkan dengan Jawa.

    Kami makan di sebuah warung sate klathak di Jogja pada 31 Maret malam tepat ketika pemerintah mengumumkan penurunan harga BBM sebesar Rp200 perak. Sebelumnya saya membantu dia bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah jurnalis senior di Jogja di sebuah rumah makan.

    “Jadi turun Rp200 ya?” katanya setelah melihat sebuah stasiun televisi yang menayangkan tentang penurunan harga BBM. “Sama saja bagi kami, Tidak ada artinya. Harga BBM di tempat kami tetap Rp25.000 per liter dan akan terus naik,” katanya sambil tersenyum. Saya tidak paham arti senyumnya. Pasti bukan senyum senang. Mungkin lebih pas disebut sebagai senyum hambar.

    Bukan rahasia lagi harga-harga di Papua, terutama di daerah pedalaman jauh lebih mahal dibandingkan Jawa. “Pemerintah kerap bilang, pembangunan Papua sulit karena apa-apa mahal,” kata Wempi. “Tetapi saya bertanya, Papua itu bagian Indonesia bukan? Kalau bagian dari Indonesia seharusnya ya jangan bilang begitu. Pemerintah harus membuat cara agar harga di sana sama dengan Jawa. Namanya juga bagian dari Indonesia,” keluhnya.

    Dia menggambarkan bagaimana mahalnya harga di Jayawijaya. “Di sana  itu makan Rp100 ribu dapat nasi sama ikan saja,” katanya. “Terus berapa penghasilan rakyat bapak kalau untuk makan saja mahalnya segitu?” tanya saya. “Rakyat kami itu petani dan nelayan. Tidak pernah mikir duit karena kalau mikir duit tidak bisa makan,” katanya. Dia mau mengatakan bahwa rakyat makan apa adanya dari hasil bumi yang ada. “Di tempat kami yang ada hanya uang biru dan merah [50 ribu dan 100 ribu]. Karena uang di bawah itu tidak bisa buat beli apa-apa,” lanjutnya.

    Dia lantas bercerita bagaimana susahnya membangun gedung lantai tujuh yang belum lama ini diresmikan. Di Jawa, membangun gedung semacam itu pasti sangat cepat. Tetapi Wempi membutuhkan tujuh tahun untuk membangunnya dengan biaya fantastis Rp150 miliar!!! “Ya gimana tidak mahal semennya saja harganya Rp500 ribu perzak”

    Begitu sulitnya hidup di Papua, lanjut Wempi, kerap menjadikan mereka tidak paham apa yang dimaui orang Jawa. Kerap hal-hal yang mereka anggap sepele di Jawa jadi ribut. “Kemarin kami nonton di tv ada demo taksi, kami tertawa saja, masalah kaya gitu saja ribut,” tambahnya.

    Wempi yang sudah tujuh tahun menjadi bupati ini tetap saja pesimistis Papua bisa mengejar Jawa. Selama tidak ada perubahan dalam melihat Papua oleh Jakarta selain juga ada perubahan besar di Papua sendiri. “Tidak mungkin,” katanya sambil menggelengkan kepala.

    Pertemuan dengan Pebi dan Wempi inilah yang menjadikan saya sebagai orang Jawa merasa malu. Malu sekali. Kita kerap gaduh dengan berbagai urusan aneh, sementara Papua yang begitu kaya justru terus terbengkalai. “Kita memang congkak, sombong,” kata saya pada seorang teman.

    Tidak mungkin memunculkan nasionalisme selama ada ketidakadilan seperti ini. Tidak mungkin akan membangun rasa persaudaraan jika ada ketimpangan seperti ini. Kita Indonesia, Papua Indonesia, Jawa Indonesia, Sumatera Indonesia, tetapi kenapa beda perlakuan?

    “Sejak awal sudah salah,” kata Wempi. “Bahkan lagu dari Sabang sampai Merauke itu harusnya dibalik dari Merauke sampai Merauke. Matahari terbit dari Timur, tetapi kenapa justru dimulai dari barat. Pembangunan juga seperti itu, pembangunan dari barat, padahal yang terang duluan Timur. Begitu mau sampai timur, sudah gelap lagi,” katanya yang membuat kami tertawa dengan rasa pedih. (az@jejaktapak.com)

     

     

    Share this
    Tags

    Must-read

    Sebagian Misi Kami Melawan Channel Maling Berhasil

    Sekitar 3 tahun Channel JejakTapak di Youtube ada. Misi pertama dari dibuatnya channel tersebut karena banyak naskah dari Jejaktapak.com dicuri oleh para channel militer...

    Rudal Israel dan Houhti Kejar-kejaran di Langit Tel Aviv

    https://www.youtube.com/watch?v=jkIJeT_aR5AKelompok Houthi Yaman secara mengejutkan melakukan serangan rudal balistik ke Israel. Serangan membuat ribuan warga Tel Aviv panic dan berlarian mencari tempat perlindungan. Serangan dilakukan...

    3 Gudang Senjata Besar Rusia Benar-Benar Berantakan

    Serangan drone Ukraina mengakibatkan tiga gudang penyimpanan amunisi Rusia benar-benar rusak parah. Jelas ini sebuah kerugian besar bagi Moskow. Serangan drone Ukraina menyasar dua gudang...

    Recent articles

    More like this