Site icon

Di Mana Engkau, Indonesia?

Ayahmu Menteri Keuangan, Icha,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayahmu menguasai uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli kain gurita bagi adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau Ibu tidak alami sendiri kejadian itu, Ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tetapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tidak tergoda memakai uang negara meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.”

Kalimat itu bukanlah dialog yang diangkat dari sinetron yang menjual kesedihan, tetapi kalimat yang terucap dari hati yang paling dalam istri Sjafruddin Prawiranegara, Tengku Halimah Syahabuddin kepada putri sulungnya Aisyah Ganie yang dipanggil Teh Icah.

Dialog itu menjadi intro Novel Presiden Prawiranegara, Kisah 207 Hari Sjafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia.

Ketika membaca intro novel itu saya lalu teringat ungkapan tulus yang senada dari para pendiri bangsa ini. Antara lain dari KH Agus Salim, ia mengucapkan dalam bahasa Belanda “leiden is lijden” yang artinya “memimpin adalah menderita”. Ini serupa dengan ucapan Jenderal Besar Soedirman “Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita prajurit (baca: pemimpin) yang menderita.” Demikian juga Mohammad Roem berkata yang sama.

Ungkapan hati seperti itu dipastikan tidak mungkin terucap oleh seorang istri Menteri Keuangan di masa sekarang ini karena gaji dan fasilitas negara yang diberikan kepada Menteri sudah lebih dari mencukupi untuk sekadar kebutuhan  hidup.

Dulu ketika zaman perjuangan, para pendiri bangsa selalu bersikap dan bertindak bahwa “Memimpin adalah menderita dan melayani rakyat” Tetapi kini tinggal menjadi slogan, dan digantikan paham dan keyakinan praksis kekuasaan sebagai previlese, memimpin adalah mangreh bukan momong. Jika Bapak Bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjafruddin, Agus Salim, Soedirman atau Mohammad Roem masih hidup, pastilah akan terperangah kaget menyaksikan mental kepemimpinan bangsa ini  yang bukan saja tidak menderita, melayani pun juga tidak.

Kita semua harus belajar pada Sjafruddin. Seorang tokoh yang memegang peranan penting dalam penyelamatan Republik Indonesia yang kala itu masih sangat muda. Setelah Belanda menyerang  Jogja, salah satu hasil sidang kabinet saat itu adalah mengirimkan kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran, di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk Kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.

Sesungguhnya ada dua kawat yang dikirimkan, yang kedua kepada AA  Maramis di New Delhi untuk membentuk Exile Government RI di New Delhi jika Pemerintah Darurat di Bukittinggi gagal. Ternyata kedua surat kawat itu tidak pernah sampai ke alamat karena stasiun radio dan telekomunikasi keburu dihancurkan Belanda.

Tetapi Pemerintah Darurat tetap bisa dibentuk karena sebelumnya memang sudah pernah dibahas. Kolonel Hidayat, yang saat itu menjadi Panglima seluruh Sumatera hadir dan mendengar sendiri akan dibentuk Pemerintah Darurat di Sumatera ketika keadaan genting. Maka pembentukannya pun tidak melanggar konstitusi.

Sejak dibentuk pada 22 Desember 1948 PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Dengan PDRI keberadaan Indonesia masih terus ada. Hingga pada 13 Juli 1949, Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya di Jogja yang diterima Presiden Soekarno sambil mengucapkan terima kasih atas segala usaha guna kepentingan negara. Selama 207 hari PDRI menjalankan pemerintah darurat ternyata telah menyjadi ”Penyelamat Republik”

Untuk menyelamatkan ekonomi negara, Syafurddin sebagai Menteri Keuangan mengeluarkan kebijakan berani yang disebut ”Gunting Sjafruddin”. Sejak 19 Maret 1950 jam 20.00 WIB uang kertas Rp5 ke atas digunting menjadi dua. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah denga nnilais etengahnya.

Bahkan Tengku Halimah, istri Sjafruddin terhenyak saat menerima gaji suami yang tidak seberapa dan harus dipotong setengah. Ia bersama rakyat Indonesia turut merasakan tajamnya ”gunting Sjafruddin” itu. Karena harus memegang rahasia bahkan istrinya pun tidak tahu sama sekali tentang langkah suaminya.

Next: Terseret Putaran Politik

Terseret Putaran Politik
Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin kemudian terseret dalam pusaran politk. Sebenarnya dia tidak ikut menandatangani Perjanjian Sungai Dareh sebagai simbol perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta. Namun karena memiliki sikap ”sama-sama menanggung risiko” jadilah dia dan keluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak. Halimah yang masih kemenakan Kesultanan Banten harus hidup di hutan Bukit Barisan selama empat tahun. Padahal ia bersama tiga anaknya membawa 29 kilogram emas milik negara. Emas itu sudah dikembalikan ke pemerintah pada Maret 1962 dan dijadikan kekayaan negara.

Sjafruddin pula yang memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk kembali ke pangkuan pertiwi meski kemudian dia juga harus menjalani karantina politik di Cipayung. Dan ketika hidup di tahanan, seluruh  hartanya disita, keluarganya hidup tercerai-berai dalam kemiskinan. Bahkan hingga Sjafruddin bebas tetap dalam kemiskinan.

Presiden Soekarno pernah meminta seorang pengusaha bernama Dasaad untuk memberikan mobil kepada Sjafruddin. Bahkan dua mobil. Tetapi pemberian itu ditolak. Demikian pula ketika diberi sebuah rumah di kawasan Menteng ditolak dengan alasan tidak mau menerima sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat.

Zaman berubah. Perilaku tokoh politik pun mengalami perubahan. Sayang, perubahannya justru cenderung menjauh dari nilai-nilai keluhuran bangsa. Praksis tokok politik masa lalu yang demikian bermartabat serta penuh pengorbanan dan pengabdian nyaris tidak meninggalkan jejak di praksis politik sekarang. Sebut contoh, dalam setiap pergantian tampuk pimpinan negara pascareformasi selalu diwarnai intrik-intrik politik kepentingan kelompok, juga kasus-kasus mafia hukum yang tidak kunjung selesai, berikut usaha pemberantasan korupsi yang tersendat-sendat.

Tampaknya ada pergulatan hebat dalam praksis politik, sebaliknya semangat kebangsaan, persahabatan dan keutamaan bagi rakyat tidak tampak di sana. Sekarang ini yang ada politik permusuhan, konflik dan fitnah. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah menemukan kembali ”Indonesia” yang hilang. Indonesia dengan sederet tokoh pergerakan yang visioner dan menjalin hubungan antartokoh yang demikian erat.

Setiap mengenang para pendahulu bangsa, selain dipandang secara relektif seperti itu juga sebagai ancangan perspektif Indonesia masa depan dengan peradaban baru yang lebih bermartabat untuk menuju hari esok lebih baik. Para pendahulu bangsa adalah sosok-sosok jernih, tanpa pamrih dan kritis terhadap realitas seraya bersikap positif untuk terus mencari jalan keluar persoalan bangsa ini. (az@jejaktapak.com)

Exit mobile version