Di Mana Engkau, Indonesia?

Di Mana Engkau, Indonesia?

Terseret Putaran Politik
sjafrudin
Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin kemudian terseret dalam pusaran politk. Sebenarnya dia tidak ikut menandatangani Perjanjian Sungai Dareh sebagai simbol perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta. Namun karena memiliki sikap ”sama-sama menanggung risiko” jadilah dia dan keluarga turut mengalami hidup sebagai pemberontak. Halimah yang masih kemenakan Kesultanan Banten harus hidup di hutan Bukit Barisan selama empat tahun. Padahal ia bersama tiga anaknya membawa 29 kilogram emas milik negara. Emas itu sudah dikembalikan ke pemerintah pada Maret 1962 dan dijadikan kekayaan negara.

Sjafruddin pula yang memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk kembali ke pangkuan pertiwi meski kemudian dia juga harus menjalani karantina politik di Cipayung. Dan ketika hidup di tahanan, seluruh  hartanya disita, keluarganya hidup tercerai-berai dalam kemiskinan. Bahkan hingga Sjafruddin bebas tetap dalam kemiskinan.

Presiden Soekarno pernah meminta seorang pengusaha bernama Dasaad untuk memberikan mobil kepada Sjafruddin. Bahkan dua mobil. Tetapi pemberian itu ditolak. Demikian pula ketika diberi sebuah rumah di kawasan Menteng ditolak dengan alasan tidak mau menerima sesuatu yang dibayar dari pajak rakyat.

Zaman berubah. Perilaku tokoh politik pun mengalami perubahan. Sayang, perubahannya justru cenderung menjauh dari nilai-nilai keluhuran bangsa. Praksis tokok politik masa lalu yang demikian bermartabat serta penuh pengorbanan dan pengabdian nyaris tidak meninggalkan jejak di praksis politik sekarang. Sebut contoh, dalam setiap pergantian tampuk pimpinan negara pascareformasi selalu diwarnai intrik-intrik politik kepentingan kelompok, juga kasus-kasus mafia hukum yang tidak kunjung selesai, berikut usaha pemberantasan korupsi yang tersendat-sendat.

Tampaknya ada pergulatan hebat dalam praksis politik, sebaliknya semangat kebangsaan, persahabatan dan keutamaan bagi rakyat tidak tampak di sana. Sekarang ini yang ada politik permusuhan, konflik dan fitnah. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah menemukan kembali ”Indonesia” yang hilang. Indonesia dengan sederet tokoh pergerakan yang visioner dan menjalin hubungan antartokoh yang demikian erat.

Setiap mengenang para pendahulu bangsa, selain dipandang secara relektif seperti itu juga sebagai ancangan perspektif Indonesia masa depan dengan peradaban baru yang lebih bermartabat untuk menuju hari esok lebih baik. Para pendahulu bangsa adalah sosok-sosok jernih, tanpa pamrih dan kritis terhadap realitas seraya bersikap positif untuk terus mencari jalan keluar persoalan bangsa ini. (az@jejaktapak.com)