Setelah insiden dengan China di perairan Kepulauan Natuna, Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu menyatakan pemerintah akan membentengi salah satu wilayah terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut.
Salah satu langkah yang diambil adalah dengan akan menempatkan lima jet tempur F-16 “Fighting Falcon”, tiga Kapal Frigate, satu sistem radar baru, sejumlah drone, satu batalion TNI AD dan satu unit Korps Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU ke Natuna.
Akan tetapi, kebijakan tersebut dipertanyakan pengamat kebijakan internasional dari Lowy Institute, Sydney, Australia, Aaron Connelly. Menurutnya, penempatan jet tempur dan perangkat militer lainnya takkan bikin takut Negeri Tirai Bambu, terutama militer mereka yang kualitas dan kuantitasnya terbilang jauh di atas Indonesia.
“Penempatan [F-16] itu seperti sekadar pamer kekuatan, tapi itu bukan hal yang berguna,” sebut Connelly, sebagaimana dinukil Bloomberg, Jumat 1 April 2016.
Connelly menambahkan, Indonesia semestinya tetap memainkan “kartu truf” diplomasi ketimbang “kartu” militer. Indonesia bisa dibilang bakal unggul jika memainkan “kartu” diplomasi dengan mendasarkan kedaulatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan hukum internasional.
“Indonesia punya kartu diplomasi untuk dimainkan, tapi Indonesia tak punya kartu militer yang unggul. Militer China takkan bisa begitu saja dibuat takut dengan menempatkan beberapa F-16 di Natuna,” imbuhnya.
Tetapi setidaknya pengiriman F-16 ini akan menunjukkan bagaimana sikap Indonesia terhadap China. Meski sekali lagi belum tentu akan mengubah sikap Beijing.
Hal yang harus dipertimbangkan, justru China telah menempatkan sejumlah sistem pertahanan udara di pulau yang dikonflikkan. China dilaporkan telah mengerahkan sedikitnya delapan baterai sistem pertahanan udara HQ-9 di Woody Island bagian dari rantai Pulau Paracel di Laut China Selatan. Sistem ini memiliki jangkauan 125 mil dan akan menimbulkan ancaman bagi setiap pesawat terbang baik sipil atau militer yang terbang di wilayah tersebut.
Sistem pertahanan udara ini menjadi salah satu senjata paling canggih di arsenal atau gudng senjata China. Dan seperti khas pembangunan China, senjata sebagian besar merupakan tiruan dari sistem lain dengan modifikasi sistem yang dibangun sendiri.
Tidak main-main HQ-9 mengawinkan dua sistem rudal paling mematikan di dunia, yakni S-300 Rusia dan Rudal Patriot milik Amerika. Missile Threat, sebuah proyek George C. Marshall dan Claremont Institutes mencatat. Hal ini memungkinkan HQ-9 untuk mampu melacak, sasaran, dan mencegat kedua pesawat dan rudal.
Baca juga:
http://www.jejaktapak.com/2016/02/20/china-kirim-hq-9-ke-laut-china-selatan-bagaimana-jika-as-melawan-dengan-f-22/