Pemerintah Amerika Serikat telah menenggelamkan miliaran dolar ke pengembangan pesawat generasi kelima Lockheed Martin F-35 Joint Strike Fighter. Program ini direncanakan akan menghabiskan uang hampir US$ 400 miliar untuk mengembangkan dan membangun 2.443 dari jet baru untuk Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Korps Marinir AS.
Untuk memastikan bahwa program ini tidak dibunuh di tengah jalan Lockheed telah menyebarkan pekerjaan di seluruh negeri dan bahkan di seluruh dunia untuk memberi manfaat ekonomi. “Di AS saja, program F-35 telah menyerap pekerja langsung dan tidak langsung hingga 129.000 orang dan memberikan pekerjaan bagi lebih dari 1.200 pemasok di 45 negara bagian dan Puerto Rico,” demikian keterangan di situs Lockheed F-35.
“F-35 tidak sekadar meningkatkan keamanan internasional tetapi juga memperkuat ekonomi global dengan menyediakan lapangan kerja, kemitraan industri dan manfaat teknologi untuk orang-orang dan perusahaan di seluruh dunia. Dalam tahun-tahun mendatang, program F-35 akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dibanding inisiatif Departemen Pertahanan yang lain dalam dekade ini. ”
Selain itu, program F-35 menghasilkan manfaat industri di Australia, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, Turki dan Inggris. Selain itu, F-35 menciptakan pekerjaan di Israel, Jepang dan Republik Korea yang juga telah membeli pesawat tempur siluman baru. Hal inilah yang menjadikan program ini meski penuh dengan berbagai masalah dan kritik tajam kecil kemungkinan untuk dihentikan karena menghentikan program tersebut sama saja membunuh ratusan ribu bahkan jutaan pekerjaan dan tenaga kerja.
Tetapi pertanyaannya sejauh mana Pentagon akan benar-benar kuat untuk terus mempertahankan program ini. Setidaknya tetap mempertahankan program tetapi tidak mengganggu kekuatan udara mereka, mengingat F-35 selain mundur juga memiliki sejumlah masalah teknis dan kemampuan. Bagaimana jika F-35 akhirnya benar-benar gagal? Jawabannya adalah bahwa harus ada alternatif.
NEXT: SKENARIO USAF, US NAVY, MARINIR DAN NEGARA LAIN
SKENARIO USAF, US NAVY, MARINIR DAN NEGARA LAIN
Untuk Angkatan Udara AS, alternatif yang paling jelas adalah membangkitkan Lockheed Martin F-22 Raptor. Meski membangun kembali jalur produksi pesawat ini akan mahal dan sulit, tetapi hanya itu pilihan yang paling masuk akal.
Angkatan Udara AS masih menyimpan perkakas untuk pesawat meski proses penyimpanan memiliki masalah, itu bukan tantangan yang tidak dapat diatasi. Masalah yang lebih sulit akan terjadi pada subkomponen. Sebagian besar perangkat keras komputer Raptor cukup kuno.
Namun dengan memulihkan jumlah Raptor seperti rencana awal yakni 400 pesawat maka akan memberikan Angkatan Udara Amerika dengan kemampuan yang akan sangat sulit untuk ditandingi siapapun. Sangat jauh jika Amerika memilih untuk mengupgrade F-15 atau F-16. Setinggi apapun upgrade pada kedua pesawat generasi keempat ini, tetap tidak akan mampu mengimbangi F-22.
Lalu bagaimana dengan Angkatan Laut yang mengoperasionalkan F-35C dan Korps Marinir yang diberi F-35B? Kedua pesawat ini direncanakan untuk menggantikan Boeing F/A-18E/F Super Hornet.
Angkatan laut punya pilihan untuk me-restart program pembangunan pesawat tempur siluman jarak jauh tak berawak. Sebuah pesawat serang jarak jauh tak berawak menjadi kebutuhan mereka untuk mengalahkan ancaman anti access/areal denial yang terus berkembang saat ini.
Sementara Korps Marinir tidak ada pilihan lebih baik kecuali kembali membeli Super Hornet atau meninggalkan sayap tempur taktis tanpa F-35B. Namun, Angkatan Laut dan Korps Marinir memiliki hubungan erat sehingga mungkin akan memilih Super Hornet sebelum kekuatan mereka benar-benar tidak berdaya.
Sementara untuk negara lain yang telah terlanjur membeli F-35 maka membeli Eurofighter, Dassault, Boeing F/A-18E/F, Saab Gripen atau bahkan upgrade F-16 menjadi alternatif yang ada. Beberapa sekutu akhirnya mungkin akan mengembangkan pesawat siluman sendiri dengan risiko juga akan mahal.
“Intinya ketika rencana harus berubah maka itu bukan akhir dari dunia. Militer harus beradaptasi dengan kondisi politik saat itu,” tulis Dave Majumdar editor pertahanan The National Interest Rabu 23 Maret 2016.