dominan dalam kampanye militer Washington di Timur Tengah. Sebuah strategi yang dikenal sebagai perang generasi keenam.
Analis militer Vladimir Platov dalam tulisannya di New Eastern Outlook mendefinisikan perang generasi keenam sebagai operasi yang dilakukan oleh pasukan khusus dalam konflik yang tidak memiliki garis depan yang jelas. Operasi ini mencakup menghancurkan infrastruktur inti militer sampai membunuh politisi atau pemimpin militer.
Dalam dua dekade terakhir Navy SEAL telah memainkan peran yang semakin penting dalam operasi AS ‘di luar negeri. “SEAL berpartisipasi dalam serangan malam berulang selama perang di Irak, misi di Afghanistan [yang dilakukan oleh Satuan Tugas 373], menyelamatkan pelaut Amerika Richard Phillips yang disandera oleh perompak Somalia, pembunuhan Osama bin Laden (SEAL Team Six ) dan banyak operasi klandestin lainnya, ” tulisnya yang dilansir Sputnik Senin 28 Desember 2015.
Amerika Serikat tidak menyangkal bahwa pasukan khusus ada tetapi pimpinan AS enggan memberikan rincian dari operasi mereka. Terutama operasi yang tidak berjalan seperti yang direncanakan. “Washington mencoba dengan berbagai cara terbaik untuk menyembunyikan misi yang gagal oleh unit-unit ini,” lanjutnya.
Platov merujuk pada upaya pembunuhan terhadap Abu Laith al-Libi, salah satu pemimpin senior al-Qaeda. Amerika meluncurkan serangan udara pada kelompok di mana orang nomor tiga di Al-Qaeda seharusnya berada. Tetapi mereka justru membunuh tujuh anak sebagai gantinya. Militer AS menyadari bahwa ada anak-anak di kompleks tetapi tetap memberi lampu hijau untuk serangan.
“Hal ini tidak bisa dikesampingkan bahwa meskipun unit khusus melaksanakan misi di Suriah dan Libya mungkin menargetkan tidak hanya teroris yang masuk dalam daftar prioritas [Joint Prioritized Effects List] tetapi juga beberapa tokoh masyarakat atau politik yang tidak diinginkan,” analis tersebut mengasumsikan.
Joint Prioritized Effects List berisi nama-nama individu, yang dapat ditangkap atau dibunuh oleh misi yang dipimpin NATO di Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan PBS, John Nagl, mantan penasihat kontra terorisme Jenderal Petraeus, menjelaskan target yang terdaftar dalam Joint Prioritized Effects List telah hampir menjadi skala industri mesin pembunuh kontraterorisme.”