Ekspor senjata ke China memberi sejumlah keuntungan strategis bagi Rusia. Selain memberi pasokan dana segar bagi Rusia, senjata Rusia juga dapat mengimbangi kekuatan militer AS di Asia. Gairah Beijing untuk memiliki senjata canggih membuat industri pertahanan Rusia bisa terus berdenyut dan membuat AS kini harus membagi fokus dengan memantau aktivitas Rusia sekaligus China, mengurangi tekanan terhadap Rusia seorang.
Namun, ekspor senjata Rusia ke China punya sisi buruk. China kerap membeli senjata dengan jumlah terbatas, membongkarnya, kemudian menciptakan senjata serupa versi mereka sendiri. Mereka dapat membuat barang tiruan yang lebih murah dan akhirnya mengancam kelangsungan ekspor senjata Rusia. Industri pertahanan China terus merangkak naik, dan Moskow melihat pasarnya mulai terancam.
Dalam dunia perdagangan senjata, sebenarnya semua pihak saling meniru satu sama lain. Insinyur Rusia membongkar pesawat pembom B-29 dan kemudian menciptakan Tu-4, yang sulit dibedakan dari pesawat asli versi Amerika. Jerman meniru tank lapis baja Rusia T-34, tank Perang Dunia II terbaik yang pernah ada. Sementara, misil Amerika versi Awal merupakan tiruan dari roket Jerman V-2 yang pernah membumi-hanguskan London.
Namun, China sangat canggih dalam hal tiru-meniru. Mereka telah meniru kereta Jerman Maglev dan kini menawarkannya untuk India. Peretas China mengambil cetak biru TGV Prancis. Pesawat tempur China J-20 dan J-30 berbasis teknologi dari perusahaan Amerika yang mengembangkan F-5 dan F-22. Pada dasarnya, semua misil, tank, sistem artileri, dan senapan yang digunakan oleh militer China adalah tiruan dari senjata Rusia.
Ambil contoh senapan mesin AK-47. Pada tahun 1950-an, Rusia mengizinkan China membuat versi tiruan dari senapan tersebut. Namun setelah kesepakatan lisensi berakhir, Beijing—sama seperti Hungaria, Slowakia, dan AS—mulai memproduksi AK ilegal. Senapan AK asli Rusia dibanderol hingga US1.500 dolar AS di pasar AS, sementara versi China dapat dimiliki dengan merogoh kocek 400 dolar AS saja.