Presiden Republik Korea (Korea Selatan) telah melemparkan kata-kata keras kepada Republik Demokratik Korea dan ini bisa mendorong Kim Jong un ke jurang invansi.
Dalam pidato yang disiarkan televisi nasional Selasa 16 Februari 2016, Presiden Republik Korea, Park Geun Hye membela keputusan kontroversial untuk menutup Kompleks Industri Kaesong di Korea Utara. Dia juga menyampaikan komentar tegas yang pasti membuat marah Kim Jong Un dengan menyebut sebagai pemimpin negara miskin yang berbahaya.
Dia juga berjanji pemerintahannya akan mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan lebih efektif sebagai pesan serius kepada Pyongyang bahwa program nuklirnya akan mempercepat runtuhnya rezim. Belum cukup, Park menyebut rezim Kim sebagai “pemerintahan ekstrem teror.”
Park juga melanggar hal yang seolah tabu selama in, menyebut Kim dengan nama, sebagai bentuk ejekan.
Pemimpin muda di Pyongyang hanya melemparkan kata-kata kembali ke pemerintah Park. Dia memilih menahan diri dan itu tidak mengejutkan karena penutupan Kaesong, yang ada di sebelah utara Demiliterisasi Zona yang memisahkan kedua Korea, adalah krisis bagi Kim.
Pada 10 Februari, Park menutup Kaesong. Tentara Korea Utara kemudian menyita fasilitas, di mana 124 perusahaan Republik Korea mempekerjakan hampir 54.800 warga Korea Utara.
Langkah Park cukup mengejutkan. Kantornya pada 3 Februari 2016 sebenarnya telah berjanji akan ada konsekuensi yang kejam jika Korut meluncurkan rudal. Pada saat itu, sebagian pihak hanya melihat itu sebagai kata-kata kosong dari Seoul. Tetapi tidak. Park menutup Kaesong setelah Kim benar-benar meluncurkan roket Unha-3 pada 8 Februari.
Penutupan Kaesong akan menyakiti rezim Korea Utara. Tahun lalu, pabrik ini telah memberi pemasukan setidaknya US$120 juta ke kas Pyongyang.
Upah dibayar dalam dolar, tetapi pekerja tidak pernah diterima oleh pekerja. Mereka hanya menerima won Korea Utara dan voucher. Mata uang asing, menurut Park dalam sambutannya Majelis Nasional, berakhir di tangan pemerintah dan kemudian disalurkan ke program senjata.
Menutup Kaesong diperkirakan akan mengurangi ekspor Korea Utara antara seperempat hingga sepertiga. Dan Kim juga dihadapkan pada hukuman lain yang harus dia khawatirkan yakni sanksi dari Amerika dan PBB. Selanjutnya, China, setidaknya menurut Penasihat Keamanan Nasional Susan Rice, akan setuju untuk satu set yang terdiri dari lima langkah PBB untuk membatasi program senjata Pyongyang.
“Rezim Kim Jong Un sangat membutuhkan mata uang untuk menjaga kesetiaan elit inti dan mengembangkan alat-alat kematian perlu untuk tetap berkuasa,” tulis Greg Scarlatoiu, Direktur Eksekutif Komite Hak Asasi Manusia di Korea Utara sebagaimana dikutip Daily Beast.
Penutupan Kaesong, dikombinasikan dengan berlakunya undang-undang sanksi di AS dan tekanan PBB akan menghasilkan tekanan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pilihan yang dihadapi Kim Jong Un adalah jelas: Melupakan soal nuklir dan rudal, memperbaiki situasi hak asasi manusia yang buruk, dan menerima reformasi atau menghilang .
Masalahnya Kim tidak berniat meninggalkan senjata, meningkatkan hak asasi manusia, melaksanakan reformasi, atau menghilang. Sebaliknya, ia benar-benar bertekad untuk menang dalam tiga generasi, Delapan dekade perjuangan keluarganya dengan Korea tidak akan dihentikan. Bahkan, itu adalah inti dari legitimasinya. Dari pendiriannya, Republik Rakyat Demokratik telah berupaya untuk menyatukan semenanjung di bawah kekuasaan Utara, dan invasi besar-besaran yang dimulai Perang Korea pada tahun 1950 hanya satu upaya tersebut dalam hal ini.
Semua orang berasumsi bahwa Pyongyang hanya menggertak ketika mengatakan pada 11 Februari bahwa penutupan Kaesong adalah “deklarasi perang”, tapi perang selalu menjadi kemungkinan di Semenanjung Korea.