Semangat India untuk membangun jet tempur dalam negeri melalui inisiaif “Make in India” akan sulit untuk benar-benar jadi dalam waktu dekat. Krisis keuangan dan kurangnya kemampuan dalam negeri memaksa mereka akan terus tergantung pada impor.
Sumber Kementerian Pertahanan India menyebutkan pemerintah ingin membangun lebih dari 250 jet tempur dalam 20 tahun ke depan dengan biaya lebih dari US$ 200 miliar termasuk biaya siklus hidup juga
India belum menandatangani kontrak untuk membeli 36 pesawat Rafale dari Prancis. Selain itu, produksi serial dari Light Combat Aircraft (LCA) Mark-1 tidak dapat mencapai izin operasionalnya tanpa dukungan asing. Pengembangan bersama dan produksi Five Generation Fighter Aircraft (FGFA) dengan Rusia menghadapi penundaan, dan tidak ada kejelasan tentang status Advanced Medium Combat Aircraft (AMCA).
Menurut proyeksi Angkatan Udara, kekuatan pesawat tempur mereka tinggal 25 skuadron dari 45 skuadron yang diperlukan. Selain itu, 14 skuadron dilengkapi dengan pesawat tua MiG-21 dan MiG-27 yang harus menyelesaikan tugasnya pada tahun 2024.
“Kami tidak yakin jika kita akan puas hanya dengan 36 jet tempur Rafale dan ada juga ketidakpastian ketika 120 LCA Mark-1 akan dilantik,” kata pejabat Angkatan Udara sebagaimana dikutip Defense News Minggu 14 Februari 2016. “Kami tentu membutuhkan tambahan jet tempur Rafale untuk meningkatkan kekuatan tempur. Dengan lambatnya induksi tempur, IAF akan membutuhkan setidaknya dua dekade untuk mencapai kekuatan tempur yang ideal yakni 45 skuadron,” tambahnya.
Pejabat Angkatan Udara lain mengatakan pemerintah harus memutuskan apakah akan memilih untuk membeli lebih banyak Rafale atau bersama-sama menghasilkan LCA dan mempercepat proyek FGFA dengan Rusia.
Pejabat itu mencatat bahwa pada 2032, Angkatan Udara harus memiliki 810 pesawat tempur atau 45 skuadron. Layanan ini juga harus melantik beberapa lusin skuadron UAV untuk memenuhi ancaman baik dari Timur dan Barat.