Super Tucano, Pesawat Moncer yang Tersandung Politik

Super Tucano, Pesawat Moncer yang Tersandung Politik

Super Tucano dipilih Indonesia untuk menggantikan armada tua OV-10 Bronco sebagai bagian dari modernisasi alat utama sistem pertahanan (Alusita). “Dengan lebih dari 157.000 jam terbang dan lebih dari 23.000 jam tempur dicapai, Super Tucano menawarkan fleksibilitas untuk melakukan berbagai misi termasuk serangan ringan, pengintaian, udara-ke-udara intersepsi dan kontra pemberontakan,” kata Embraer di laman resminya.

Pesawat ini menggunakan baik dari yang terbaru teknologi elektronik, optik, infra-merah dan laser, serta komunikasi radio aman dengan data-link, dan kemampuan persenjataan yang tak tertandingi, sehingga sangat handal dan pada tingkat atas biaya / manfaat rasio untuk berbagai misi militer, bahkan beroperasi dari landasan pacu tak beraspal.

Sampai saat ini setidaknya TNI AU sudah menerima 12 EMB-314/A-29 Super Tucano dari 16 pesawat yang dipesan. Mereka menjadi bagian dari Skadron Udara 21 di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Malang.

Namun sisa pesawat sempat diadang masalah ketika hubungan politik Indonesia-Brasil terganggu dengan eksekusi mati oleh Indonesia terhadap sejumlah terpidana Narkoba. Salah satu yang dieksekusi mati adalah Brasil Rodrigo Gularte,warga negara Brasil pada April  2014 lalu. Sebelumnya pada Januari 2013, warga Brasil yang lain, Marco Archer juga dieksekusi mati karena kasus yang sama. Sebagai bentuk protes Presiden Brasil Dilma Vana Rousseff menunda menerima surat kepercayaan (credential) dari Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Toto Rianto dan akan meninjau berbagai kerja sama di berbagia sektor termasuk pertahanan dan pembelian Super Tucano. Namun setelah itu tidak jelas akhir dari sengketa itu tersebut.