Ketika Arab Saudi melakukan kampanye udara terpanjang dalam sejarah (melawan Yaman) Saudi mengirim hingga 50 jet tempur Typhoon dan Tornado buatan Inggris. Saudi memiliki 80 Tornado dan 48 Typhoon dengan 72 Typhoon yang lain dalam pesanan.
Sebaliknya Inggris memiliki 125 Typhoon dan 98 Tornado. Karena pemotongan anggaran dan kekurangan yang dihasilkan dari suku cadang dan pemeliharaan personil Inggris tidak bisa menempatkan Typhoon dan Tornado dalam tindakan sebanyak Arab Saudi. Ini adalah contoh lain bagaimana hanya memiliki banyak pesawat tempur bisa menyesatkan. Jika Anda tidak mampu untuk menjaga mereka terbang angkatan udara Anda menjadi jauh kurang mampu dari yang terlihat.
Untuk Inggris ini bukanlah hal baru. Sejak akhir 1990-an Royal Air Force telah harus berurusan dengan tahun demi tahun dari pemotongan anggaran. Tahun 2011 tahun-tahun pintas karena anggaran menyusut mencapai titik di mana kurangnya suku cadang untuk Eurofighter Typhoon dan membatasi jumlah terbang pilot.
Hal ini menyebabkan hanya delapan pilot yang bersertifikat untuk memenuhi syarat untuk melakukan tugas serangan darat di Eurofighter. Sementara untuk tugas superioritas udara, Eurofighter justru sedikit menjalani misi itu.
Serangan darat, lebih mendominasi selama 2011 ketika NATO setuju untuk memberikan dukungan bagi pemberontak Libya. Sekarang RAF menemukan bahwa Angkatan Udara Saudi memiliki pilot lebih mampu dalam misi pemboman dari Inggris dan dapat menempatkan pesawat tempur lebih banyak ke udara dibanding mereka yang menjadi asal usul Tornado dan Typhoon.
Typhoon seperti merana di negeri sendiri. Dua dekade pemotongan menyebabkan pembatalan pesanan untuk pesawat baru. Pada tahun 2009 Jerman dan Inggris keduanya memutuskan memotong jumlah Typhoon yang akan dibeli. Sebanyak 37 Typhoon Jerman yang sepakat untuk dibeli untuk Luftwaffe (angkatan udara) justru ditawarkan untuk ekspor demi menghemat dan mendapatkan dana tambahan.