Pada akhir 2015 Inggris mengungkapkan bahwa drone Reaper mereka yang dikerahkan ke Irak sejak November 2014 telah melakukan lebih dari 230 serangan rudal dan menewaskan sedikitnya 300 target yang dianggap sebagai teroris. Tetapi Reaper tetap lebih banyak terbang untuk pengintaian dan pengawasan.
Meski Inggris cukup puas dengan kinerja Reaper yang dibangun Amerika, mereka juga mulai menggunakan drone Watchkeeper yang dibuat sendiri. Inggris mulai memesan Reaper pada tahun 2007, melalui kesepakatan mendesak untuk mendukung pasukan Inggris di Afghanistan. Operator Inggris dikirim ke Angkatan Udara AS untuk bekerja bersama dengan operator Reaper Amerika agar mampu cepat menyerap pengalaman AS mengoperasikan drone ini.
Pada tahun 2010, Inggris memutuskan untuk meningkatkan kekuatannya dari MQ-9 Reaper menjadi sekitar 25 pesawat. Saat ini Inggris memiliki sepuluh Reapers (satu jatuh) dan pengiriman terus dilakukan. Reaper Inggris pertama memasuki misi di Afghanistan pada tahun 2007 dan mereka diinstal senjata pada 2008. Karena lebih banyak Watchkeeper masuk layanan maka pembelian Reaper akan dikurangi. Jika kekuatan Watchkeeper nantinya sudah lengkap maka akan mengancam Reaper dari posisnya sebagai drone utama Inggris.
MQ-9 Reaper adalah pesawat dengan bobot 4,7 ton, dan panjang 11,6 meter dan lebar sayap 21,3 meter dengan bentuk mirip MQ-1. Drone ini memiliki enam cantelan senjata dan dapat membawa 682 kg (1.500 pon) senjata termasuk rudal Hellfire (hingga delapan), dua Sidewinder atau dua rudal udara ke udara AMRAAM, dua rudal Maverick, atau dua bom pintar (dipandu laser atau GPS) 227 kg (£ 500). Kecepatan maksimal mereka adalah 400 kilometer per jam, dan daya tahan hingga 15 jam.
Reaper dianggap sebagai pesawat tempur yang bisa menggantikan F-16 atau A-10 dalam banyak situasi. Sehingga setelah Angkatan Udara Inggris menggunakan mereka di Afghanistan mereka pun digerakkan ke misi anti-ISIS di Irak dan Suriah. Sementara Angkatan Darat mempertahankan drone kecil seperti kecil Watchkeeper dan Hermes.