
Strategi Amerika di Suriah dengan mendukung tentara pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) untuk melawan ISIS dan rezim Asssad dilaporkan telah compang-camping. Pentagon mulai ragu apakah strategi ini akan berhasil.
Setelah perang saudara pecah di Suriah, salah satu upaya awal Pentagon adalah dengan melatih apa yang mereka sebut dengan kelompok pemberontak moderat. Setelah menghabiskan anggaran tidak kurang dari US$384 juta atau sekitar Rp53,7 triliun, program berakhir dengan kegagalan tahun ini . CIA tidak mampu menemukan calon yang layak untuk dilatih.
“Sulit untuk memperoleh jumlah pemberontak Suriah yang bersedia berpartisipasi dalam pelatihan di bawah parameter saat ini,” kata Jennifer Cafarella, dari Institute for the Study of War, mengatakan kepada Fox News pada Juni 2015 lalu. Hal ini telah menjadikan Washington berada di tepi kegagalan untuk melawan ISIS. Para pemberontak pun mulai lelah dengan keadaan yang ada. “Setelah lima tahun perang orang-orang telah lelah, begitu juga para pejuang kami,” kata Jaseen Salabeh, seorang relawan FSA, sebagaimana dikutip Stars and Stripes News.
Masalah lain karena anggota FSA menggambarkan kepemimpinan korup. “Mereka secara teratur mencuri gaji kami,” tambah Salabeh. “Kami seharusnya mendapatkan US$400 per bulan, tapi kami hanya benar-benar menerima US$100.”
Dia juga mengidentifikasi kurangnya perawatan yang tepat bagi mereka yang terluka dalam pertempuran. “Jika seseorang terluka, mereka hanya membuang di Yordania dan meninggalkan dia,” kata Salabeh. “Janda pejuang martir juga tidak menerima apa-apa setelah kematian.”
Kondisi ini telah menciptakan siklus kegagalan. Karena moral rendah, FSA hanya memiliki beberapa kemenangan pertempuran. Akibatnya AS menarik kembali dana.
“Kurangnya keberhasilan medan perang telah mengurani dukungan terhadap mereka,” kata Ed Blanche, anggota dari International Institute for Strategic Studies London kepada Stars and Stripes. “Mereka belum mendapatkan dukungan signifikan karena mereka tidak menunjukkan hasil.”