
Komandan NATO Stolenberg menegaskan saatnya bagi mereka untuk melakukan investasi guna memperkuat pertahanan mereka. Menurutnya merek menghadapi tantangan besar di masa depan.
Dalam artikelnya di Defense News Senin 14 Desember 2015 Stoltenberg mengakui Arab Spring telah gagal mewujudkan harapan. Padahal hal itu yang sejak awal didukung penuh oleh negara-negara NATO. Atas nama demokrasi dan kebebasan, NATO mendukung gerakan untuk meruntuhkan sistem pemerintahan yang sah.
“Kami menghadapi tantangan keamanan terbesar dalam satu generasi. Mereka sangat kompleks, saling terkait dan datang dari berbagai arah. Janji Arab Spring telah digantikan oleh kekerasan dan ekstremisme,” katanya.
Arab Spring adalah istilah untuk kebangkitan dunia Arab atau pemberontakan yang dimulai di Tunisia pada musim semi Desember 2010. Arab Spring menjalar ke Libya, Aljazair, Mesir, Lebanon, Yordania, Mauritania, Sudan, Oman, Arab Saudi, Maroko, Yaman, Irak, Bahrain, Kuwait, Sahara Barat, dan Suriah dengan berbagai tingkat tekanan untuk menggulingkan pemerintah. Beberapa pemimpinnya digulingkan dengan cara kudeta berdarah, yang lain sedang berlangsung dan beberapa sudah berhenti. Amerika dan Barat selalu muncul sebagai sponsor terhadap pemberontakan dan kudeta tersebut.
NATO juga menilai Rusia telah muncul sebagai ancaman setelah secara ilegal menganeksasi Krimea dan terus mengguncang timur Ukraina serta sekarang telah memasuki perang di Suriah.
“Tahun lalu, kami mengambil keputusan yang diperlukan untuk menjaga negara kita aman dengan meningkatkan kesiapan dan investasi lebih banyak di pertahanan kami. 2015 telah menjadi tahun aksi. Kami menyelesaikan pelaksanaan Rencana Kesiapan Aksi NATO, kenaikan terbesar dalam pertahanan kolektif kita sejak Perang Dingin.”