Tetapi bukan demokrasi dan kebebasan yang diterima Libya. Mereka justru terpuruk ke dalam kekacauahn dan kehancuran menyusul kematian pemimpinnya. Entah sampai kapan tidak ada yang tahu.
Aktivis hak asasi manusia di Libya dan negara-negara lain telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mereka terhadap situasi di Libya. Banyak kelompok bersenjata yang muncul dan menyebut dirinya sebagai ‘revolusioner sejati’. Mereka beroperasi di negara itu tidak hanya bertempur satu sama lain untuk berebut wilayah dan properti. Tetapi juga menerima pesanan untuk pembunuhan dan penculikan.
Penculikan Perdana Menteri Ali Zeidan pada 2013, oleh seorang bersenjata adalah salah satu contohnya. Tetapi ini hanya sebagian kecil yang menjadi sorotan media mengingat yang diculik adalah pejabat tinggi. Setelah kejadian ini para aktivis secara teratur mengangkat pertanyaan: Jika para penguasa dapat diculik begitu mudah, maka bagaimana nasib warga biasa Libya?
Menurut organisasi hak asasi manusia, jumlah total orang yang diculik dan hilang selama perang sipil berkisar 10.500-11.000 orang. Laporan ini juga menyebutkan sebuah kota kecil bernama Sabha telah menduduki puncak daftar kota paling kriminal di dunia.
Menurut koordinator Komite Pencari Anak Korban Penculikan Libya Tarek Abdel-Hadi di kota-kota besar seperti Misrata jumlah penculikan mencapai 850 kasus,
Dia lebih lanjut mengatakan di antara korban penculikan ada 20 anak-anak dan 25 orang tua. Para penculik biasanya menyerang seluruh keluarga.
Mantan sekretaris Libyan Association of Tribes dan aktivis, Bassem al Sol kepada Sputnik mengatakan jumlah perempuan yang disandera dalam penjara ilegal kelompok bersenjata cukup banyak.
“Di Benghazi, Misrata dan Sirte ada bangunan kumuh yang telah berubah menjadi penjara ilegal oleh geng pemberontak, ada wanita yang dituduh ‘mendukung rezim Gaddafi’. Semua perempuan ini pernah memegang jabatan di lembaga publik. Hanya di kota Misrata jumlah tahanan perempuan yang disiksa mencapai 4.300, “kata Bassem al Sol sebagaimana dikutip Sputnik Minggu 13 Desember 2015.
Menurut Bulan Sabit Merah di Libya, karena peristiwa Arab Spring pada tahun 2014, 72.682 keluarga di negara ini kehilangan tempat tinggal dan terpaksa meninggalkan rumah mereka karena desa mereka menjadi sasaran serangan besar-besaran oleh militan.
Next: Senjata Pemberian NATO
Sejauh ini, pihak berwenang Libya baru belum berhasil melucuti kelompok-kelompok ilegal. Bahkan untuk menyatukan kelompok-kelompok bersenjata di bawah satu banner dan melaksanakan negosiasi dengan pemerintah pun belum bisa.
Anak-anak juga menjadi korban kekacauan ini. Mereka diculik untuk uang tebusan dan sejak pembentukan ISIS sekitar 20.000 anak-anak telah dicuci otak untuk bergabung dengan militan.
Mengenai pembiayaan kelompok ISIS, informasi yang beredar di akun media sosial milik kelompok militan ini menunjukkan bahwa ’emir’ (penguasa) dari ISIS menerima sekitar US$ 6.000. Sementara prajurit terendah menerima sekitar US$ 265, tetapi jumlah ini meningkat dari waktu ke waktu.
Libya, yang merupakan salah satu negara minyak paling kaya di Afrika dan Timur Tengah. Tetapi mereka justru mengalami krisis minyak. Tambang minyak, pipa dan depot telah menjadi alasan bentrokan antara pemberontak di Libya, yang masing-masing berusaha untuk mendapatkan akses ke sumber pendapatan tersebut.
Pada tahun 2010, sesuai dengan National Oil Corporation Libya, produksi minyak rata-rata di Libya sebesar 1.500 000 barrel per hari. Pada 2015 hanya 500 ribu barel per hari atau hanya sepertiga dari jumlah minyak mentah sebelum ‘Arab Spring.’
Sisa minyak yang dihasilkan dari wilayah yang dikendalikan ISIS tidak berproduksi sama sekali karena kegagalan peralatan atau vandalisme.
Menurut Global Petrol Prices harga rata-rata per liter bensin di Libya pada tahun 2015 berkisar US$0,14-0,17. Sebelum peristiwa Arab Spring selama krisis keuangan global 2008-2009, harga minyak US$0,10-0,12 untuk premium. Data sebelum krisis keuangan, harga per liter bensin di Libya pada tahun 2006 adalah 0,8 dolar.